“Karena ekskavator tak mampu, kemudian kami mendatangkan tukang ahli pecah batu. Dia sempat datang ke sini. Namun, dia hanya menengok batu itu dan tidak mau memecah batu itu. Bagi warga sekitar, batu itu akhirnya jadi misteri karena tidak mau dipindah,” kata Tumin, 55, warga sekitar saat ditemui Solopos.com di lokasi, Minggu (19/9/2021).
Teka-teki terkait misteri batu yang konon tak mau dipindah itu akhirnya terjawab. Ini setelah seorang sesepuh warga memberi tahu bila batu itu sejatinya adalah nisan dari seorang panglima perang wanita yang menjadi pengikut setia dari Pangeran Mangkubumi bernama Panembahan Senopati Nyai Tuginah Wiro Atmojo atau putri dari Tumenggung Wiro Atmojo.
“Itu cerita dari sesepuh yang paham soal kebatinan. Batu itu dipercaya sebagai adalah nisan pemberian Pangeran Mangkubumi sebagai penanda makam anak buahnya yang gugur,” ujar Tumin.
4. Mitos Kampung Antisinden
Di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen, hidup mitos terkait kampung atau dukuh antisinden bernama Singomodo. Kampung ini berlokasi tak jauh dari makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo.
Eyang Singomodo dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar agama Islam dari keturunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan PB II.
Untuk menandai batas wilayah Kampung Singomodo, Syekh Nasher membuat pematang di sekeliling kampung. Hingga kini, pematang yang mengitari kampung itu juga masih ada.
Suatu hari, Syekh Nasher mengajak pengikutnya membuat tempat tinggal. Namun ada salah satu pengikut bandel. Alih-alih ikut membantu membuat tempat tinggal, pengikut itu malah kepincut nonton ledek.
Karena dianggap melanggar norma kesopanan, salah satu pengikut dan seorang ledek itu panggil Syekh Nasher. Keduanya ditawari menikah dan diminta tinggal ke barat jalan, sedangkan Syekh Nasher dan pengikut setianya tinggal di timur jalan.
Syekh Nasher kemudian mengeluarkan maklumat melarang pengikut yang tinggal di wilayah timur jalan mendengarkan atau membunyikan gamelan yang biasa dipakai untuk mengiringi sinden. Mereka juga dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden jika tidak ingin mendapat musibah.
Konon, ada salah seorang warga yang pernah nekat mengundang sinden.
Namun, begitu sindennya itu pergi kejadian aneh langsung terjadi. Warga tersebut kejatuhan buah kelapa tepat di kepalanya hingga akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itulah, warga setempat enggan mengundang sinden karena masih percaya dengan mitos yang berkembang dari masa lalu.
“Kalau ada hajatan di Kampung Singomodo, [suara musik] yang boleh diputar hanya syair-syair Islam. Selain itu tidak boleh. Apalagi itu [sinden] dan minuman keras seperti bir,” ujar Kepala Desa Kandangsapi, Pandu, kepada Solopos.com, Kamis (7/10/2021).
Baca Juga : Ritual Seks Tak Lazim, Bocah 13 Tahun Berhubungan Intim dengan Wanita Lebih Tua
5. Mitos Ritual Seks untuk Pesugihan di Gunung Kemukus
Pada 2014 lalu, nama Gunung Kemukus sempat mendunia setelah sejumlah media asing memberitakan fenomena ritual sex mountain di objek wisata itu.
Menurut mitos yang berkembang, berhubungan seks dengan pasangan tak resmi di Gunung Kemukus merupakan bagian dari ritual yang harus dijalani para peziarah Makam Pangeran Samodro untuk mendapatkan kekayaan.
Kepada Solopos.com, Ketua Solo Society, Dani Saptoni, yang pernah menelitik folklore terkait sosok Pangeran Samodro menjelaskan terkait mitos ritual seks di Gunung Kemukus itu.
Dani menjelaskan Pangeran Samodro hidup pada masa keruntuhan Kerajaan Majapahit atau masih satu era dengan penyebaran agama Islam di Tanah Jawa utusan dari Kerajaan Demak pada 1400 hingga 1500 Masehi.
“Pangeran Samodro merupakan salah satu putra dari Prabu Brawijaya. Karena ada konflik dengan ayahandanya, Pangeran Samodro kemudian mengembara keluar dari Majapahit hingga sampai di Gunung Kemukus. Di sana, Pangeran Samodro menjadi seorang mualaf dan turut menyebarkan agama Islam. Dia punya banyak murid dan menghidupi penduduk sekitar,” jelas Dani pada 2020 lalu.
Suatu ketika, para santri dari Pangeran Samodro itu tengah memasak di dapur. Pada asat itu, warga sekitar melihat kepulan asap dari dapur didilihat dari kejauahan seperti kukusan. Hal itulah yang mengilhami lahirnya istilah Gunung Kemukus.
Setelah kepergian Pangeran Samodro, ibu tirinya yakni Dewi Ontrowulan yang mengasuhnya sejak kecil menyusul keluar dari Majapahit. Sebagai seorang ibu, ia mengkhawatirkan putra angkatnya itu. Sampai akhirnya, Dewi Ontrowulan tiba di Gunung Kemukus.
“Saat tiba di Gunung Kemukus, Dewi Ontrowulan mendapati Pangeran Samodro sudah meninggal. Lalu, Dewi Ontrowulan dikubur satu liang dengan Pangeran Samodro. Namun, oleh oknum yang tidak bertangung jawab, kisah Dewi Ontowulan dan Pangeran Samodro itu dikaitkan dengan ritual pesugihan.
Ada cerita menyimpang yang menyebutkan bila Dewi Ontrowulan terlibat cinta terlarang dengan Pangeran Samodro. Kisah menyimpang itu kemudian yang melatarbelakangi adanya ritual berhubungan badan dengan orang lain supaya keinginannya terkabul. Padahal itu adalah bentuk penyimpangan cerita,” papar Dani yang juga lulusan Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret (UNS) ini.