LaNyalla menyebutkan, partai-partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen. Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parlementary threshold, dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Sehingga lengkap sudah dominasi dan hegemoni partai politik untuk memasung Vox Populi dengan cara memaksa suara rakyat terhadap pilihan terbatas yang telah ditentukan.
Akibatnya, terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat yang masih kita rasakan hingga hari ini. Karena dari dua kali Pilpres, mereka hanya menyajikan dua pasang calon yang berhadapan-hadapan.
"Inilah wajah konstitusi hasil amandemen 2002 yang telah mengubah lebih dari 90 persen isi pasal-pasal di UUD 1945 naskah asli. Dan telah mengganti sistem tata negara yang dirumuskan para pendiri bangsa yang mengacu kepada demokrasi asli Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila," tutur LaNyalla.
"Sejak amandemen 2002, Indonesia telah meninggalkan Demokrasi Pancasila menjadi Demokrasi Liberal. Begitu pula dengan sistem Ekonomi Nasional, sejak amandemen 2002, Indonesia telah meninggalkan sistem Ekonomi Pancasila yang menitikberatkan kepada pemisahan yang jelas antara wilayah koperasi, BUMN dan swasta menjadi sistem ekonomi kapitalistik," ujarnya.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam konstitusi amandemen 2002 yang telah menambah 2 ayat di pasal 33, sehingga membuka peluang kepada swasta nasional maupun asing untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, dengan dalih efisiensi.
"Tidak heran, bila mereka yang kaya semakin kaya, dan yang miskin akan tetap miskin. Dan, mereka yang kaya raya adalah segelintir orang yang menguasai hampir separo kekayaan Indonesia. Padahal negeri ini kaya raya. Sejatinya tidak ada kemiskinan akut di negeri ini selama tidak ada segelintir orang yang dengan brutal dan rakus menumpuk kekayaan untuk kemudian dibawa keluar Indonesia," tegas LaNyalla.