Menurut LaNyalla, kecekalaan hukum dan konstitusi inilah yang harus diperbaiki. Padahal, bangsa ini adalah bangsa yang besar, yang sudah seharusnya memiliki kesadaran yang besar atas sejarah kelahirannya, sehingga menjadi peta jalan dalam menatap masa depan.
"Sekali lagi, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi sebuah amanat sejarah dan amanat bangsa bahwa bangsa ini sudah seharusnya dan mutlak memiliki ruang-ruang non-partisan yang berhak untuk ikut serta menentukan arah wajah dan perjalanan bangsa ini ke depan," paparnya.
Apalagi jika kita berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 yang lalu, di mana hasilnya ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai.
"Seharusnya DPD RI bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Tetapi justru sebaliknya, partai politik bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parlementary threshold dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold," jabar LaNyalla.
Dengan begitu, LaNyalla menilai lengkap sudah dominasi dan hegemoni partai politik untuk memasung Vox Populi dengan cara memaksa suara rakyat terhadap pilihan terbatas calon pemimpin bangsa yang mereka tentukan.
"Akibatnya, terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat yang masih kita rasakan hingga hari ini, karena dari dua kali Pilpres mereka hanya menyajikan dua pasang calon yang berhadapan-hadapan," tutur LaNyalla.
(Erha Aprili Ramadhoni)