"Mereka (keluarga) takut anaknya bisa enggak mendapatkan pekerjaan yang layak, tetapi saya berhasil mematahkan itu semua ketika saya lulus dan akhirnya bekerja. Itu adalah momen pembuktian saya," lanjutnya.
"Seiring berjalannya waktu saya ketemu kolega yang open minded, saya bisa melayani tanpa diusik atau diperdebatkan identitas gender saya. Saya merasa dilihat sebagai manusia yang utuh dan bagi saya itu yang terpenting,” urainya.
Alegra kini berpraktik sebagai dokter umum di salah satu klinik di Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan rintisan (start up) kesehatan. Di sela-sela karir profesionalnya, Alegra meluangkan waktu sebagai relawan di komunitas-komunitas LGBT untuk mengedukasi mereka terkait isu-isu kesehatan seperti HIV. Dia juga memilih untuk terbuka dengan identitas gendernya.
"Saya yakin ada orang lain di luar sana yang mungkin mengalami kesulitan yang mirip dengan saya, kalau saya bisa menjadi aspirasi positif bagi mereka, tentu itu suatu kehormatan bagi saya," terangnya.
"Saya ingin pengalaman pribadi saya menjadi sebuah kisah tentang harapan, keberanian, dan penerimaan," ujarnya.
Sebagai seorang transpuan, Alegra dianggap lebih bisa memahami apa yang dilalui oleh anaknya. Hal ini diakui Rina, bukan nama sebenarnya, yang sedang mendampingi proses transisi anaknya menjadi seorang perempuan.
Sekitar satu tahun yang lalu, anak dari Rina yang berusia 20 tahun membuka diri kepada keluarganya bahwa dia mengalami gender dysphoria. Sama seperti Alegra, anak Rina terlahir sebagai seorang laki-laki, tetapi merasa identitas gendernya adalah perempuan.
Menurut Rina, seluruh tenaga medis seharusnya memberi pelayanan yang setara untuk kelompok minoritas seperti transgender.