"Saya merasa lebih baik saya transisi atau mengakhiri hidup saya. Itu sangat menyedihkan untuk orang bisa berpikir memilih menjadi dirinya sendiri atau mengakhiri hidup,” ungkapnya.
Alegra akhirnya memutuskan untuk bertransisi, sebab bagi dia, hidupnya masih layak diperjuangkan.
"Sebelumnya saya melihat kehidupan itu seperti hitam putih, tapi setelah saya bertransisi saya mulai melihat warna-warna kehidupan," tuturnya.
Bagi Alegra, momen wisuda menjadi salah satu yang paling berkesan dalam hidupnya. Saat itu, Alegra untuk pertama kalinya tampil menggunakan kebaya. Dia akhirnya merasa bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan banyak orang.
Lebih dari itu, Alegra juga menjadi transpuan pertama yang terbuka dengan identitas gendernya dan lulus pendidikan dokter di kampusnya. Pencapaian itu dia raih setelah sepanjang masa kuliah, dia merasa lingkungan pendidikannya masih "kebingungan" menghadapi seorang transgender.
Alegra mengaku, dia berulang kali ditegur atas hal-hal yang bersifat pribadi, salah satunya cara berpakaiannya. Hal itu, lanjutnya, membuat dirinya semakin tertekan secara emosional.
"Kadang saya merasa banyak teman-teman di pendidikan tinggi yang enggak tahu bagaimana menghadapi saya," terangnya.
"Itu karena mereka belum pernah lihat ada transgender yang sampai ke pendidikan dokter,” ujarnya.
Tetapi di tengah momen pembuktian itu, Alegra sendiri sempat ketakutan bagaimana identitas gendernya akan mempengaruhi langkah karirnya. Kekhawatiran yang sama juga datang dari keluarganya terkait keputusan untuk bertransisi.