Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Dokter Transgender Pertama di Indonesia, Dianggap Lebih Empati ke Pasien

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Jum'at, 14 Januari 2022 |15:33 WIB
Kisah Dokter Transgender Pertama di Indonesia, Dianggap Lebih Empati ke Pasien
Dokter transgender pertama di Indonesia (Foto: BBC)
A
A
A

Sebagai seorang transpuan di dunia medis, Alegra kini mengaku memperjuangkan agar sistem kesehatan di Indonesia bisa menjadi lebih inklusif. Dengan demikian, para transgender bisa merasa lebih nyaman untuk mengakses layanan kesehatan tanpa khawatir dihakimi.

Akses kesehatan adalah hal krusial, mengingat transgender di Indonesia menghadapi sejumlah masalah kesehatan seperti kerentanan terhadap HIV, gangguan kesehatan mental, serta kebutuhan untuk mengafirmasi identitas gender mereka.

Studi dari Asia Pacific Transgender Network (APTN) pada 2018 menunjukkan bahwa risiko terbesar transgender terinfeksi HIV dipicu oleh mata pencaharian mereka sebagai pekerja seks karena sulit mengakses pekerjaan formal akibat stigma dan diskriminasi. Dari 250 transgender di Jabodetabek yang menjadi responden, lebih dari setengahnya merupakan pekerja seks.

Studi itu juga mengungkapkan bahwa transgender juga rentan mengalami gangguan kesehatan mental karena tekanan sosial yang mereka hadapi.

Sebanyak 56% responden menyatakan pernah merasa sedih, putus asa dan tidak berharga. Selain itu, 24% di antaranya pernah berpikiran untuk bunuh diri. Namun, hanya 18,4% yang mengakses layanan kesehatan mental.

Selain itu, mayoritas transgender tidak bisa mengakses pelayanan medis untuk mengafirmasi identitas gender mereka karena tidak berdaya secara ekonomi, serta minimnya pelayanan yang ramah transgender.

Hanya 1,1% transgender yang bertransisi dengan mengakses pelayanan medis profesional, meski sebenarnya lebih dari 73% ingin melakukan konsultasi medis lebih dulu sebelum bertransisi.

Ketidakberdayaan itu yang akhirnya membuat banyak transgender melakukan terapi hormon tanpa pendampingan medis yang membahayakan kesehatan mereka.

Alegra mengatakan, perlu ada intervensi kebijakan untuk menciptakan layanan yang inklusif itu, yang bisa dimulai dengan melepaskan stigma buruk terhadap transgender.

"Masalah untuk komunitas trans dan minoritas lainnya di Indonesia ini tidak akan selesai hanya dengan satu dokter transpuan yang berjuang. Kita butuh sistem yang lebih inklusif untuk memenuhi kebutuhan teman-teman transgender," ujarnya.

Pendiri Yayasan Srikandi Sejati, yang juga merupakan seorang transpuan, Lenny Sugiharto mengatakan beragam persoalan kesehatan yang dialami transgender itu bersumber pada satu hal, yakni penerimaan masyarakat.

Pengucilan dan diskriminasi, kata dia, selama ini telah membuat mayoritas transgender tidak berdaya. Penolakan keluarga membuat akses pendidikan mereka terputus, sehingga mereka berakhir hidup di jalanan, terpaksa menjadi pekerja seks, dan tumbuh dengan trauma atas stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi sehari-hari.

"Komunitas waria itu tidak mendambakan perlakuan secara eksklusif, tapi pengakuan keberadaan waria itu lah yang diperlukan sehingga mereka mempunyai jalan yang luas untuk mengakses apa pun itu," ujarnya.

Menurut Lenny, sosok Alegra telah membuktikan bahwa seorang transgender bisa mencapai apa pun yang dicita-citakan ketika mendapat akses pendidikan dan pekerjaan yang setara, serta didukung oleh orang-orang sekitarnya.

Harapan serupa juga disampaikan oleh Rina. Anaknya bercita-cita untuk meneruskan pendidikan sarjana di bidang astronomi.

"Kalau kita support mereka secara profesional, mereka bisa berprestasi seperti orang lain kok," ujarnya.

"Saya pikir Dokter Alegra bisa mengubah stigma itu, bahwa transgender bukan 'lelucon'," tambahnya.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement