JAKARTA - Pasukan Rusia menggempur kota di Ukraina sejak Sabtu 3 Maret 2022, hingga menghancurkan pohon, memecahkan kaca jendela, bahkan menghantam sekolah dan rumah.
Mahasiswa India di Ukraina, Soumya Thomas (22) mengatakan, dirinya kaget saat suara ledakan memekakkan telinga disaat tidur.
"Sebuah ledakan menyentak kami dari tempat tidur. Seluruh bangunan bergetar," kata Soumya, mengingat saat-saat ia melarikan diri dari asrama kampusnya di Kharkiv beberapa hari yang lalu.
BACA JUGA:Ukraina Siapkan Rencana Jika Presiden Zelensky Terbunuh Akibat Invasi Rusia
Kata dia, gempuran Rusia telah membuat temannya yang bernama Naveen S Gyangoudar meninggal dunia, pada hari Selasa lalu ketika ia meninggalkan bunker tempatnya berlindung di Kharkiv untuk membeli makanan.
"Apa pun yang mereka bisa dan berlari ke toko kelontong, dan kemudian bunker terdekat. Mereka semua, termasuk Naveen, adalah mahasiswa Universitas Kedokteran Nasional Kharkiv. (Bunker) itu suram, gelap, dan sangat dingin - tidak ada air minum, jadi kami harus minum air dari pipa. Di luar, ledakan terdengar dari waktu ke waktu. Dan ketika makanan habis, kami harus bertahan hanya dengan makan satu kali sehari," tuturnya.
BACA JUGA:Ukraina Gugat Rusia di Pengadilan Dunia, Bantah Klaim Genosida
Soumya berkata mereka berlindung di bunker dengan harapan pemerintah India akan segera bertindak dan menyelamatkannya.
"Tapi kemudian teman saya tewas. Dan saya berpikir: tidak ada yang datang untuk menyelamatkan kami," bebernya.
Ia berbicara kepada BBC pada Selasa malam (01/03), saat kelompok itu - sekitar 20 orang - menunggu kereta ke Lviv, sebuah kota di sudut barat Ukraina, dekat perbatasan Polandia, tempat mereka berharap dapat menemukan bantuan untuk pulang.
"Sudah enam hari sejak kami tidur atau makan cukup. Ada suara ledakan memekakkan telinga kami. Teman saya sesak nafas dan bahkan belum ada apotek yang buka untuk memberinya obat," katanya.
Soumya khawatir persediaan mereka yang tinggal sedikit - delapan telur rebus, sepotong roti, dan dua bungkus biskuit - mungkin tidak akan bertahan selama perjalanan 15 jam ke depan. Itu pun, jika mereka berhasil naik kereta api - kelompoknya sudah dilarang naik tiga kali karena, Soumya mengklaim, mereka bukan orang Ukraina.
Ribuan mahasiswa India diyakini masih terdampar di Kharkiv sementara peluru artileri terus menggempur kota itu.
India telah menggencarkan upaya evakuasi di tengah kesulitan logistik untuk membawa pulang warganya. Sekitar 12.000 mahasiswa sudah pulang sejauh ini, kata menteri luar negeri India. Kementerian luar negeri negara itu menyarankan warga India untuk pergi ke daerah perbatasan dan menyeberang untuk naik penerbangan khusus dari Polandia, Hongaria, Slovakia, dan Rumania. Mereka telah mengirim para menteri ke masing-masing negara ini untuk membantu upaya penyelamatan.
Seperempat dari 76.000 mahasiswa asing di Ukraina, kira-kira 20.000, adalah warga India, yang merupakan kelompok terbesar, menurut data resmi. Banyak dari mereka mengambil jurusan kedokteran di universitas negeri, yang menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau.
Banyak mahasiswa India juga tertahan di dekat atau di lintas perbatasan saat mereka melarikan diri dari pasukan Rusia ke arah barat. Robin, yang hanya menggunakan nama depannya, juga berada di Kharkiv sampai Selasa tetapi berhasil naik kereta ke "suatu tempat di barat" negara itu pada sore hari.
Pria itu mengatakan ia hanya sempat membawa paspornya sebelum meninggalkan asrama - ia berharap bisa lebih siap, tetapi ketika serangan dimulai, ia berkata penggempuran begitu "ganas" sehingga "bahkan tidak ada waktu untuk berlari".
Robin, mahasiswa tahun ketiga di universitas kedokteran, berlindung di stasiun metro bawah tanah yang sama dengan Naveen, mahasiswa India yang tewas. Ia mengatakan mereka pergi sekitar waktu yang sama.
Saat Naveen keluar untuk membeli makanan, Robin dan teman-temannya berusaha mencari jalan ke stasiun kereta api.
Cuaca malam itu begitu dingin, kata Robin. Orang-orang tampak seperti siluet di bawah sorotan lampu depan saat mobil-mobil dengan panik melaju melewatinya, hanya untuk terjebak di depan gundukan puing-puing dari bangunan yang dihantam peluru artileri.
Ia bercerita tentang antrean mengular di toko kelontong dan bangunan-bangunan yang runtuh, beberapa tinggal tumpukan batu, dengan puing-puing dan kendaraan yang terbakar berserakan di sepanjang jalan.
"Saya masih mencari taksi ketika kami mendengar gemuruh ledakan dari jauh. Beberapa menit kemudian kami mengetahui bahwa Naveen telah meninggal," kata Robin.
Ia berkata mereka melompat ke dalam taksi dan melarikan diri. Di atas kereta, katanya, orang-orang berdesakan di dalam kompartemen sehingga tidak tempat untuk duduk, dan bahkan untuk berdiri.
"Tidak ada tempat untuk berdiri dan kami sudah kehabisan makanan dan air," kata Robin kepada BBC melalui pesan singkat saat ia berada di kereta.
Di kampung halamannya di India, orang tuanya sangat mengkhawatirkannya, katanya. Mereka saling berkontak lewat WhatsApp, bertukar pesan secara sporadis sehingga Robin dapat menghemat baterai ponselnya.
"Kami menghadapi peluang yang tampaknya mustahil tetapi saya masih berharap kami semua akan dievakuasi sesegera mungkin," sambungnya.
(Awaludin)