Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pembantaian Warga Sipil di Bucha, Biden Tuntut Pengadilan Kejahatan Perang untuk Putin

Susi Susanti , Jurnalis-Selasa, 05 April 2022 |13:37 WIB
Pembantaian Warga Sipil di Bucha, Biden Tuntut Pengadilan Kejahatan Perang untuk Putin
Presiden AS Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin (Foto: AP)
A
A
A

WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bergabung dengan kecaman global atas pembantaian warga sipil yang diklaim di Bucha selama akhir pekan, menuntut "pengadilan kejahatan perang" untuk Presiden Rusia Vladimir Putin pada konferensi pers pada Senin (4/4).

Dia melanjutkan dengan menyebutkan perlunya mengumpulkan informasi dan mendapatkan semua detail sebelum persidangan kejahatan perang yang sebenarnya.

Linda Thomas-Greenfield, duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengumumkan pada Senin (4/4), ini terjadi ketika AS berusaha untuk menangguhkan keanggotaan Rusia di Dewan Hak Asasi Manusia PBB sebagai tanggapan atas tuduhan bahwa pasukan Rusia melakukan kejahatan perang di Bucha dan di tempat lain di Ukraina.

Dia menyerukan 140 negara yang memilih bulan lalu untuk mengutuk operasi militer Rusia di Ukraina.

Baca juga: Rusia Akan Gelar Pertemuan dengan DK PBB Terkait Tuduhan Pembantaian Warga Sipil di Bucha

Rekaman grafis dari Bucha, sebuah kota di barat laut Kiev, muncul selama akhir pekan menunjukkan beberapa mayat berpakaian sipil berserakan. Kiev dengan cepat menyalahkan pasukan Rusia.

Baca juga: Rusia Bantah Bunuh Warga Sipil di Bucha Ukraina

Sementara itu, Moskow dengan tegas membantah keterlibatan dan mengklaim insiden itu dipentaskan demi media Barat. Wakil tetap Rusia untuk Dewan Keamanan PBB, Dmitry Polyansky, menyebutnya sebagai “provokasi terang-terangan oleh radikal Ukraina.”

Meskipun juru bicara Kremlin Dmitry Peskov memohon untuk "skeptisisme serius" dan beberapa inkonsistensi meragukan kebenaran bukti, pejabat AS dari kedua pihak telah menggemakan klaim Kiev dan menuduh pasukan Rusia melakukan "kejahatan perang," dengan Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Bob Menendez (D-New Jersey) dan anggota Partai Republik Jim Risch (R-Idaho) menyerukan "akuntabilitas" dan menyebut Putin sebagai orang yang bertanggung jawab. Bulan lalu, Senat AS mengeluarkan resolusi yang menganggap Presiden Rusia sebagai penjahat perang.

Namun, AS bukan negara pihak Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional, sebuah perjanjian tahun 2002 yang menetapkan organisasi tersebut sebagai “Pengadilan Pidana Internasional permanen yang independen dalam hubungannya dengan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang menjadi perhatian kepada masyarakat internasional secara keseluruhan.”

Sementara pemerintahan Obama menikmati hubungan kerja dengan ICC sebagai pengamat, sikap AS terhadap badan hukum internasional mencapai titik terendah di bawah Presiden Trump, yang mencela ICC sebagai bagian dari “birokrasi global yang tidak dipilih, tidak bertanggung jawab” dengan “tidak ada yurisdiksi, tidak ada legitimasi dan tidak ada otoritas” dalam pidato tahun 2018 di PBB.

Pada 2020, AS menjatuhkan sanksi kepada pejabat ICC sebagai pembalasan atas penyelidikannya terhadap kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh AS selama perang 20 tahun di Afghanistan. Ketika pemerintahan Biden mencabut sanksi ini pada 2021, secara eksplisit mempertahankan desakannya pada otonomi AS, dengan Menteri Luar Negeri Antony Blinken menyuarakan “keberatan lama Washington terhadap upaya Pengadilan untuk menegaskan yurisdiksi atas personel non-Negara Pihak seperti Amerika Serikat dan Israel."

Sebelumnya jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan mengatakan dalam sebuah pernyataan pihaknya meluncurkan penyelidikan pada Maret lalu atas dugaan kejahatan perang dan pelanggaran lain yang dilakukan selama serangan militer Rusia di Ukraina, setelah menemukan dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan telah dilakukan.

Diketahui, Moskow melancarkan serangan besar-besaran terhadap Ukraina pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina untuk mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk yang ditandatangani pada 2014, dan pengakuan Rusia terhadap republik Donbass di Donetsk dan Lugansk. Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis telah dirancang untuk mengatur status wilayah-wilayah tersebut di dalam negara Ukraina.

Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok NATO yang dipimpin AS. Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim bahwa pihaknya berencana untuk merebut kembali dua wilayah pemberontak dengan paksa.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement