Dikisahkan Prasetya Ramadhan pada bukunya "Sandyakala di Timur Jawa 1042 - 1527 M Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Hindu dari Mataram Kuno II hingga Majapahit", saat penyerangan Jayakatwang, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari.
Sementara Gayatri ditawan musuh, rombongan Raden Wijaya pun kemudian menyeberang ke Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja.
Pada perjalanan menuju Sumenep inilah, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia Raden Wijaya.
Jika pasangan suami istri itu lelah, konon Lembu Sora-lah yang menyediakan perutnya sebagai alas duduk. Jika menyeberang rawa-rawa Lembu Sora menyediakan dirinya untuk menggendong Tribhuwaneswari.
Tak ayal saat Kerajaan Majapahit berdiri dan menetapkan Raden Wijaya sebagai raja pertama, Tribhuwaneswari tentu saja menjadi permaisuri utama.
Ditinjau dari gelarnya sang istri Raden Wijaya ini memiliki Tribhuwana-iswari. Namun demikian di kitab Pararaton, istri tertua Raden Wijaya dituakan di istana justru bernama Dara Petak, putri Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan Jayanagara, sang putra mahkota.
Menurut prasasti Kertarajasa, Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara. Dari berita tersebut dapat diperkirakan Jayanagara adalah anak kandung Dara Petak, yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang permaisuri utama.
Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat hak atas tahta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit.
Ia memerintah di Majapahit tahun 1309 - 1328 Masehi. Setelah wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi, di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita juga disebut menjadi istri kedua Raden Wijaya. Narendraduhita demikian panggilan akrabnya juga merupakan keturunan dari Kertanegara.