Bersama tapol perempuan lain, Endang membersihkan semak-semak dan ilalang yang tumbuh tinggi dengan alat seadanya, bahkan dengan tangan kosong "sampai tangan remuk," ujar perempuan berusia 76 tahun itu.
"Di sini rumputnya masih tinggi-tinggi, terus masih sepi sekali. Di situ ada pohon besar sekali," ujar Endang menunjuk ke area di dekat lapangan yang dulu digunakan untuk upacara dan apel tiap kali ada tamu datang ke Kamp Plantungan.
Area itu kini adalah taman tertata rapi — bagian dari Lapas Pemuda Plantungan, tempat pembinaan bagi apa yang disebut sebagai "anak-anak nakal".
Ketika datang, ia bersama tapol lain ditempatkan di bangunan yang berada dekat lapangan, baru kemudian dipindahkan ke blok-blok asrama yang menjadi tempat mereka bernaung selama beberapa tahun.
Komplek bangunan itu dipisahkan oleh Kali Lampir — yang sempat mengalami banjir bandang pada tahun 1980-an.
Banjir besar itu meluluh-lantakkan sebagian bangunan besar komplek peninggalan Belanda berusia sekitar 100 tahun itu.
Kendati diterjang banjir bandang, jembatan gantung sepanjang 25 meter yang dibangun di zaman kolonial Belanda masih tetap tegak berdiri. Jembatan ini menghubungkan komplek bangunan bagian atas dan bawah yang dipisahkan oleh Kali Lampir.
Awalnya, tidak ada listrik sama sekali di kamp tersebut. Hanya ada lampu minyak untuk penerangan.
Tiap hari, tapol perempuan bergiliran berjaga dan membersihkan lampu minyak tersebut agar asrama tak gelap gulita.
Baru setelah komplek itu dialiri listrik bertenaga diesel, lampu menyala dari pukul 5 sore hingga 9 malam.
Setiap hari, aktivitas para tapol adalah melakukan apel dan olahraga pagi, dilanjutkan aktivitas di unit kerja masing-masing.
Suatu kali, ujar Endang, mereka diperintah melakukan apel di tengah malam ketika ada kabar salah satu tapol melarikan diri dari kamp.
"Tahu-tahu di sini disuruh apel. Genap orangnya, jadi bukan orang sini [yang melarikan diri]," ucapnya, seraya mengatakan bahwa para tapol hanya bisa menggerutu dalam hati karena dibangunkan tiba-tiba di tengah lelap mereka dan terpaksa berkelahi dengan dinginnya malam.
Saat ditanya soal mengalami kekerasan selama pengasingannya di Kamp Plantungan, perempuan dengan pembawaan kalem ini berkata tak pernah mengalami kekerasan secara fisik, namun acapkali kekerasan mental yang ia dapatkan.
Ia menuturkan suatu kali pernah dipanggil oleh komandan kamp untuk menjahitkan baju, namun ia beralasan bahwa jahitannya belum cukup bagus kala itu. Komandan kemudian menghardiknya, dan menudingnya melakukan apa yang disebutnya sebagai "gerpol", atau gerakan politik.
Selama delapan tahun diasingkan di Plantungan, Endang bekerja di unit penjahitan, menjahit pakaian pesanan dari petugas kamp.
Endang menuturkan, orang dari luar kamp juga bisa memesan jahitan pada para tapol di unit penjahitan melalui unit prosar (produksi dan pemasaran).
"Nanti kita dapat persenan pakai uang cek," kata Endang.
'Uang cek' berwarna putih bernilai Rp100, merah muda bernilai Rp50, sementara biru bernilai Rp10 dan kuning Rp5.
Selain unit penjahitan, ada unit pertanian, peternakan, pertamanan, dan kerajinan tangan di kamp tersebut, yang oleh sebagian kalangan sebagai bentuk dari "kerja paksa".
Namun, Endang tak sependapat.
"Kalau kita diam saja malah nglangut [senyap], tapi kalau ada kesibukan tahu-tahu sudah sore. Kalau menurut saya, kalau diam aja, malah nglangut malah iso TBC," jelas Endang sedikit berseloroh.
"Terpaksanya ya kalau ada tamu, suruh bersih-bersih, ben apik-apik [supaya terlihat bagus]."
Endang dibebaskan dari Kamp Plantungan pada April 1979.