Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Kamis, 29 September 2022 |07:07 WIB
Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol
Kisah perempuan penyintas 1965 saat diasingkan di kamp khusus tapol. (BBC)
A
A
A

Hari itu, Nasti terselamatkan dari perburuan, penangkapan, penghilangan paksa, penahanan tanpa proses hukum, yang mungkin akan dialaminya jika dia ikut serta di truk itu.

Namun ibunya, nasibnya tak mujur. Mia Bustam berpindah dari satu tahanan satu ke yang lain tanpa diadili. Mulai dari kantor polisi, Benteng Vredeburg dan Penjara Wirogunan di Yogyakarta, hingga dipindahkan ke Penjara Bulu di Semarang.

Dalam memoarnya yang berjudul "Kamp ke Kamp" yang terbit pada 2008, Mia mengaku bahwa ia semestinya tak dipindahkan ke Kamp Plantungan, sebab oleh dokter yang memeriksanya di Penjara Bulu, kondisi jantungnya "dianggap tidak akan kuat melakukan pekerjaan menyangkul dan lain-lain" di Kamp Plantungan.

Namun ia berkukuh pada dokternya agar dipindahkan ke kamp terasing tersebut karena jika terus ditahan di Penjara Bulu, ia merasa "malah akan mati". Akhirnya, sang dokter mengalah.

Pada 1976, ia dipindahkan kembali ke Penjara Bulu, karena termasuk dalam 45 tapol perempuan yang digolongkan sebagai "die hard". Ia akhirnya dibebaskan pada 1978.

Sementara kakak laki-laki Nasti, Tedjabayu, yang ditangkap beberapa pekan sebelum ibunya, "dibuang" ke Pulau Buru. Ia bebas pada November 1979.

Nasti adalah generasi kedua penyintas Peristiwa 65, yang sama seperti yang lain, merasakan dampak yang luar biasa akibat tragedi kemanusiaan tersebut.

Pascapenangkapan kakak dan ibunya, Nasti mengaku keluarganya "berantakan" karena tercerai-berai.

"Itu sangat menyedihkan bagi kami sekeluarga. Ibu di dalam, Mas Tedja di dalam. Kami bertujuh di luar terus bermacam-macam lah ceritanya. Jadi itu kehancuran cita-cita kami sebagai seorang anak," tutur Nasti.

Nasti dan keenam adiknya kemudian tinggal bersama ayah mereka, pelukis S. Sudjojono dan ibu tiri mereka, Rose Pandanwangi di Jakarta.

Namun pada tahun 1967, Nasti dan ketiga adiknya dipindah ke Semarang untuk tinggal bersama nenek mereka.

Sementara tiga adiknya yang lain masih tinggal bersama ayah mereka, sebelum akhirnya turut tercerai-berai.

"Tiga itu akhirnya masing-masing pergi dari situ, nggak betah. Yang pertama, Gunung pergi dengan nggak pamit. Pergi nggak pamit, meninggalkan surat dilipat di belati, ditancapkan di pohon rambutan," kata Nasti.

Bagi Endang Lestari, seperti yang ia utarakan di awal kisah ini, kendati sudah dibebaskan dari tahanan puluhan tahun lalu, ia masih mengalami "kendala".

Kendala yang paling ia rasakan adalah setelah dibebaskan pada 1979, sangat sulit baginya untuk mencari pekerjaan sebab di kartu identitasnya tersemat tanda ET (eks-tapol). Cap itu menjadi beban tersendiri baginya dan membatasi "kebebasannya".

Lima bulan setelah dibebaskan, ia memutuskan pindah ke Jakarta dari kampung halamannya di Yogyakarta demi mencari masa depan yang lebih kayak.

"Saya melihat kalau di rumah aja, masa depan saya gelap. Menurut saya, kayanya setiap langkah saya kok diawasi terus, baik itu tetangga atau siapa. Perasaan saya ya, sesungguhnya kaya gimana saya nggak tahu.

"Tapi kalau saya di situ terus kayaknya masa depan saya gelap," tutur Endang.

Sempat jadi pembantu, Ia kemudian memanfaatkan keterampilan menjahit yang ia dapat selama di tahanan.

Kepada saya, ia mengaku bahwa sempat merasakan gejolak dalam dirinya ketika mendapati dirinya ditahan selama 14 tahun tanpa proses pengadilan dengan tuduhan yang tidak jelas.

"Pasti. Tapi kalau saya terus-terus merasakan itu ya, terus tak pikir, malah kesehatan saya terus malah mati ngenes. Jalani saja apa adanya," ujarnya pasrah.

Sementara Mudjiati — yang juga menjalani kehidupan penuh liku dan perjuangan setelah pembebasan, termasuk berpindah-pindah rumah dan menyembunyikan identitasnya sebagai eks-tapol — lebih legowo dengan apa yang sudah ia alami.

"Lupa saya tidak, tapi saya juga tidak mau terbawa dari masa lalu itu. Saya juga pengen seperti orang-orang yang lain."

"Jadi kita memang harus melangkah maju."

(Erha Aprili Ramadhoni)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement