Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Kamis, 29 September 2022 |07:07 WIB
Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol
Kisah perempuan penyintas 1965 saat diasingkan di kamp khusus tapol. (BBC)
A
A
A

Setelah digunakan hampir seabad, rumah sakit itu ditutup pada 1960 dan setelah renovasi pada 1960, komplek bangunan itu dimanfaatkan sebagai penjara anak-anak.

Pada 1970, Plantungan memasuki babak baru ketika tempat itu dijadikan 'pusat pelatihan' para tapol perempuan dari seluruh Indonesia.

Sejak Peristiwa 65 berkecamuk hingga 1970, ada banyak tapol yang dititipkan di rumah tahanan kriminal dan kantor militer. Kemudian, pemerintah memutuskan untuk memindahkan tapol dalam satu tempat yang dinamakan Inrehab untuk melakukan reedukasi bagi mereka.

Dari statusnya sebagai inrehab, tempat itu dipersiapkan untuk membuat tapol yang menjadi penghuninya menjadi terampil dan lebih cerdas, dan bukannya tempat pembuangan yang membelenggu.

"Kalau laki-laki ke Pulau Buru, maka yang perempuan ke Plantungan. Itu ada edukasi yang akan diberikan pada pemerintah, untuk mengembalikan mereka kepada ideologi Pancasila," jelas Amurwani.

Dalam usaha menggembleng para tapol agar menjadi "Pancasilais sejati", diadakanlah berbagai santiaji yang diadakan setiap pekan, dengan materi seperti pengertian GBHN, Repelita dan P4, yang identik dengan Orde Baru.

"Kemudian mereka yang beragama Islam harus kembali ke Islam. Jadi mereka harus belajar mengaji, belajar kitab Al Quran dengan bimbingan ustaz. Demikian juga yang Kristen/Katolik. Mereka diberikan santiaji untuk memberikan kebaktian."

Tujuan pemerintah Indonesia melakukan indoktrinasi Pancasila pada para tapol, kata Amurwani, adalah supaya mereka yang berpaham komunis bisa kembali pada ideologi Pancasila, dan setelah pembebasan dapat diterima masyarakat.

Seperti dituturkan Mudjiati, Amurwani menjelaskan bahwa para tapol yang menjadi kepanjangan tangan petugas itu menciptakan konflik antartapol.

Oleh tapol lain, kata Amurwani, mereka disebut sebagai "coro", "cecunguk" dan "kekasih" karena sudah berkompromi dengan para petugas. Mereka selalu mengawasi gerak-gerik tapol lain dan memberikan informasi kepada petugas.

Konflik antartapol itu menciptakan dinamika tersendiri di Kamp Plantungan.

"Misalkan di [unit] penjahitan, biasanya kan mereka duduk sambil bisik-bisik ngomongnya. Tapi kalau nanti ada tapol yang oleh mereka dianggap pengkhianat, mereka menyebutnya 'cecunguk', mereka segera memberi kode dengan teman-temannya."

"Kalau di penjahitan ada yang ngomong, 'Ada benang merah' — benang merah itu artinya mata-mata," jelasnya.

Ada juga tapol yang disebut sebagai "kekasih" petugas kamp, kata Amurwani.

Lebih jauh, Amurwani menemukan adanya pelecehan seksual di kamp tersebut yang dilakukan oleh apa yang disebutnya sebagai "oknum", dengan motif yang bervariasi.

"Hasil penelitian saya itu, sebenarnya ada yang suka-sama-suka, tapi ada juga yang kemudian mengalami kehamilan sampai dua kali."

"Ketika pemerintah tahu bahwa oknum-oknum yang melakukan pelecehan seksual itu bagian dari petugas kamp, maka pemerintah Orde Baru pada saat itu langsung mengganti," jelas Amur.

Sejak 1975, para tapol menjalani tes psikologi untuk memeriksa kadar ideologi mereka. Ada tujuh level screening, kata Amur, untuk melihat kemampuan para tapol beradaptasi atau mengubah pemahaman mereka dari "pemahaman ekstrem kiri ke pemahaman ideologi Pancasila".

Ia menuturkan, dalam tes psikologi yang dilakukan pada 1976, ada 45 tapol perempuan yang digolongkan sebagai "die hard" dan dilabeli sebagai "K".

"Die hard itu masih memegang paham yang kental, ideologinya masih ideologi kiri. Jadi 45 orang itu diedukasi lagi, mereka dipindahkan, tidak lagi di Plantungan tapi di Penjara Bulu di Semarang."

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement