Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Kamis, 29 September 2022 |07:07 WIB
Kisah Perempuan Penyintas 1965 Diasingkan di Kamp Khusus Tapol
Kisah perempuan penyintas 1965 saat diasingkan di kamp khusus tapol. (BBC)
A
A
A

Ketika berkunjung ke Plantungan, Mudjiati menunjukkan lokasi tempat ia biasa bercocok tanam yang kini telah dipenuhi ilalang.

Adapun, bangunan peninggalan Belanda yang menjadi asrama dan tempat unit-unit kegiatan para tapol, kini sudah tidak ada lagi.

Aku seorang warga yang ditemui di sana, selain karena diterpa banjir bandang, bangunan-bangunan itu sudah lama terbengkalai sehingga kayu-kayu penopang dan batu bata untuk tembok diambil olah warga sekitar.

Saat Mudjiati dan Endang asyik bertukar cerita, seorang warga menghampiri saya dan berkata ia familiar dengan kedua perempuan tersebut.

Lamat-lamat ia memandangi Mudjiati dan Endang lantas bertanya, apakah keduanya bagian dari ibu-ibu yang pernah berdiam di kamp itu pada era 1970-an, yang kemudian diiyakan oleh Endang dan Mudjiati.

Mudjiati bercerita, di masa-masa awal mereka dipindahkan ke Plantungan, banyak warga sekitar merasa takut dengan keberadaan mereka.

"Mereka yang takut sama kita, karena sebelum kita datang mereka sudah indoktrinasi," katanya.

Namun pandangan mereka berubah setelah mengamati langsung aktivitas mereka dari balik kawat berduri.

Seperti diutarakan Sukarni, perempuan berusia 52 tahun yang tinggal di Kampung Pesanggrahan yang terletak di atas Kamp Plantungan. Ketika masih kanak-kanak, ia kerap meminta bunga kepada salah satu tapol perempuan dari balik kawat berduri.

"'Bu, nyuwun sekare [minta bunganya]', " ujarnya menirukan perkataan waktu itu, yang langsung disambut dengan uluran segenggam bunga.

Kala itu, ia tak menyadari bahwa para perempuan yang tinggal di kamp itu adalah tahanan politik, yang ia tahu para ibu itu kerap "menyulam, bercocok tanam dan senam".

"Saya sebagai anak kecil kan senang, ngintip-ngintip di balik pagar sama teman-teman ," tuturnya kepada saya.

"Kan senang ngeliat ibu-ibu di sini, kan kegiatannya macam-macam."

"Senangnya kalau beberapa minggu sekali di sini ada kesenian, sering nonton sama teman-teman," jelas Sukarni.

Ia menambahkan, para warga juga sangat terbantu dengan keberadaan apa yang disebut sebagai dokter mandhi (mujarab) oleh para warga.

Ia adalah Dokter Sumiyarsi Siwirini, salah satu tapol perempuan yang juga istri dari tokoh Pemuda Rakyat, Syarif Caropeboka.

Di Kamp Plantungan, Sumiyarsi mengepalai klinik yang memberikan perawatan kesehatan tak hanya ke sesama tapol tapi juga warga sekitar, termasuk saudara-saudara mereka.

"Kan saudara-saudaraku yang jauh nginep-nya di sini, sakit gatal-gatal. Dulu belum ada dokter, pertama ada rumah sakit kan di sini.

"Kalau orang Pesanggrahan boleh [berobat ke klinik]. Pegawai [kamp] dan orang Pesanggrahan sudah seperti saudara," katanya.

Selain dokter Sumiyarsi, ada pula Bidan Ratih yang kondang di sekitar Plantungan dan membantu warga yang melahirkan, termasuk kakak Sukarni.

Sebelum menjadi tahanan politik, Siti Duratih adalah bidan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Ia dibuang ke Plantungan, karena suaminya Oloan Hutapea, menjadi anggota Departemen Agitasi dan Propaganda Komunis.

Deborah Ponirah tak banyak berucap ketika Endang Lestari dan Mudjiati mengunjungi rumahnya di pinggir kota Yogyakarta.

Ada raut bahagia sekaligus sendu saat bersua dengan karibnya yang lama tak ia jumpa.

Penglihatannya jauh berkurang karena penyakit katarak di mata kirinya. Sementara, kebetulan, alat bantu dengarnya kala itu rusak, sehingga ia kesulitan mendengar.

Ponirah hanya bisa lamat-lamat mengamati percakapan suaminya bersama Endang dan Mudjiati, sambil sesekali tersenyum dan mencoba menimpali percakapan.

Tanpa diminta, ia kemudian menyanyikan lagu Sampul Surat, yang dipopulerkan penyanyi legendaris Titiek Puspa di awal tahun 1960-an.

Di tengah lagu, ia menangis pilu, tapi ia terus menyanyikan lagu itu.

Ujarnya kemudian, lagu itu adalah lagu kesukaan sahabatnya Endang Lestari, yang sering mereka nyanyikan di waktu senggang mereka di Kamp Plantungan.

Keduanya berteman sejak kecil dan menghabiskan delapan tahun masa muda mereka di kamp khusus tapol perempuan di Plantungan.

Bersama Mudjiati, Ponirah menjadi penghuni terakhir Kamp Plantungan dan dibebaskan pada Desember 1979.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement