Share

Ketika Kebijakan Negara Keliru, Pembasmian Burung Gereja di China Malah Bermuara pada Tewasnya Jutaan Orang

Tim Okezone, Okezone · Jum'at 11 November 2022 07:00 WIB
https: img.okezone.com content 2022 11 10 18 2704849 ketika-kebijakan-negara-keliru-pembasmian-burung-gereja-di-china-malah-bermuara-pada-tewasnya-jutaan-orang-gNQ0x7h6zd.JPG Warga China hendak berburu burung gereja/Foto: BBC

JAKARTA - Pada medio tahun 1958 dan 1962 China mengalami krisi kemanusiaan yang pelik. Hal itu ditulis oleh sejarawan Belanda Frank Dikötter di bukunya The Great Famine in Mao's China (Kelaparan Dahsyat saat Mao memimpin China).

Dikötter menjabarkan periode yang dikenal sebagai "Lompatan Besar ke Depan", ketika Mao Zedong, sosok yang membangun komunisme di China, mendorong seluruh rakyatnya menjadi negara paling berkembang di dunia melalui kolektivisasi sumber daya alam dan industrialisasi cepat.

 BACA JUGA:Ferdy Sambo Terkenal Tempramen, Jika Anak Buahnya Tak Nurut Langsung Marah

Para sejarawan tidak satu suara perihal jumlah orang yang meninggal dunia dalam kelaparan dahsyat yang mengikuti "lompatan ke depan" ini.

Perkiraan umum berkisar dari 15 hingga 32 juta jiwa tewas, namun Dikötter, menghitung bahwa "setidaknya 45 juta orang mati sia-sia antara 1958 dan 1962."

Salah satu episode paling absurd dari tahun-tahun itu adalah kampanye tentang "empat wabah", sebagaimana dipaparkan penulis sejarah alam dan lingkungan, Kim Todd.

 BACA JUGA:Veteran Berusia 97 Tahun Jadi Inspektur Upacara Hari Pahlawan di Salatiga

"Bagian dari Lompatan Besar Mao diarahkan pada hewan yang dianggapnya menghambat perkembangan Cina, dalam satu atau lain cara; kemudian ia mendeklarasikan empat hama — tikus, nyamuk, lalat, dan burung gereja, dan ia mengerahkan seluruh warga China untuk berusaha menyingkirkan mereka dengan segala cara," katanya dilansir dari BBC, Kamis (10/11/2022).

Tiga hewan pertama dimusnahkan atas nama kebersihan dan kesehatan masyarakat, tetapi yang keempat dianggap telah melakukan 'dosa' lain: "Burung gereja masuk dalam daftar ini karena mereka makan banyak biji-bijian. Dan Mao ingin biji-bijian ini khusus untuk makanan rakyat," imbuh Todd, seorang penulis sejarah alam dan penulis buku berjudul Sparrow.

Tetapi pembantaian jutaan burung gereja harus dibayar dengan harga yang sangat mahal dan tak lama kemudian negara itu terpaksa untuk tidak hanya menghapus burung-burung ini dari daftar hewan-hewan terancam punah, tetapi juga mendatangkannya dari negara lain.

"Sejarah dunia penuh dengan bencana lingkungan, tetapi tidak banyak yang dibandingkan dengan bencana yang melanda China pada 1958. Itu adalah tahun ketika Mao Zedong, bapak pendiri Republik Rakyat China, memutuskan bahwa negaranya bisa hidup tanpa hama seperti burung gereja. Dampak dari keputusan gegabah ini, beserta banyak kebijakan lain yang ia terapkan, menyebabkan efek domino kehancuran.”

Demikian cara John Platt, jurnalis lingkungan dan editor publikasi The Revelator, menceritakan apa yang terjadi pada tahun-tahun ini.

Berbicara kepada BBC Mundo dari Portland, Amerika Serikat, Platt menjabarkan berbagai metode untuk mengakhiri "wabah" burung gereja.

"Mereka ditembaki, orang-orang menghancurkan sarang dan telur mereka, tetapi metode pemusnahan yang paling aneh ialah mengejar mereka dan membuat banyak suara sampai mereka mati kelelahan.

“Burung gereja perlu beristirahat di sarangnya. Aktivitas seekor burung membutuhkan konsumsi energi yang intens. Terbang mencari makanan adalah kegiatan yang sangat melelahkan bagi hewan-hewan kecil ini."

Menurut Platt, masyarakat membunuh begitu banyak burung gereja sampai-sampai ada cerita saat itu tentang orang-orang yang mengangkat bangkai burung gereja dengan sekop "dan dalam dua tahun, salah satu spesies yang paling melimpah dan ada di mana-mana jadi nyaris punah."

Follow Berita Okezone di Google News

Todd menambahkan bahwa metode yang digunakan untuk melawan burung pipit tidak cukup presisi sehingga mereka tidak hanya mempengaruhi spesies ini.

"Dan ini tidak hanya memengaruhi burung gereja tetapi juga burung-burung lainnya."

Seperti yang ditulis jurnalis Tiongkok dan aktivis lingkungan Dai Qing bertahun-tahun yang lalu, "Mao tidak tahu apa-apa tentang hewan. Ia menolak mendiskusikan rencananya atau mendengarkan para ahli. Ia hanya memutuskan bahwa 'empat tulah' harus dibasmi."

Tetapi apa yang terjadi sehingga tikus, lalat, dan nyamuk terus diburu sedangkan burung gereja tidak?

Ledakan hama serangga

"Yang terjadi setelah kampanye ini adalah serangan hama serangga. Dan orang-orang menafsirkan wabah ini sebagai akibat dari kampanye melawan burung gereja. Akhirnya burung gereja keluar dari daftar hama ini dan digantikan oleh kutu busuk," jelas Todd.

"Dan demi mengembalikan keseimbangan alam, mereka harus mengimpor ratusan ribu burung gereja dari Rusia," imbuh Platt.

Bagi jurnalis BBC Tim Luard, seorang ahli di Asia Timur, masalahnya adalah kesukaan burung gereja pada belalang:

"Tanpa burung gereja yang memakannya, populasi belalang meledak, akibatnya tanaman pangan hancur, dan kemudian jutaan orang meninggal karena kelaparan."

Tetapi bagi Todd, sulit untuk memastikan bahwa ada korelasi langsung antara pembantaian burung gereja, wabah serangga, dan kelaparan:

"Yang paling banyak dimakan burung gereja adalah biji-bijian. Ada periode tertentu ketika mereka mencari serangga untuk memberi makan anak-anak mereka. Dan kalau Anda mempertimbangkan bahwa sejumlah besar burung gereja tidak melakukan itu lagi, maka Anda dapat berpikir bahwa itu akan berdampak pada populasi serangga.

"Dan harus juga dikatakan bahwa kampanye ini tidak hanya berdampak pada burung gereja tetapi banyak burung, beberapa dari mereka memakan jauh lebih banyak serangga daripada burung gereja."

Di masa lalu, burung gereja telah menjadi inspirasi bagi beberapa seniman Tiongkok.

Platt berpendapat "tidak salah untuk mengatakan bahwa kampanye melawan burung gereja berkontribusi pada kelaparan massal ini, tetapi ada faktor-faktor yang membuat segalanya lebih buruk."

Faktor utama, bagi sang jurnalis, adalah kekeringan yang terjadi pada tahun 1960, serta otoritarianisme yang mencegah pemerintah Tiongkok mengakui kesalahan kampanyenya untuk menaklukkan alam dengan mengerahkan penduduknya.

Di antara kesalahan-kesalahan ini, Platt menunjuk pada praktik produksi pertanian yang terbukti gagal total.

Penulis lain juga menunjukkan bahwa, didorong oleh obsesi pemerintah pada peningkatan produksi baja, banyak petani meninggalkan pedesaan untuk bekerja di pabrik-pabrik dan, oleh karena itu, jumlah produk dari pedesaan pada tahun-tahun itu tidak cukup untuk mengatasi kelaparan.

Paralel dengan masa kini

Platt menunjukkan bahwa kombinasi seluruh faktor ini agaknya hari ini bukan tema di masa lalu, tetapi ada beberapa elemen yang terulang pada masa kini.

"Saya menemukan paralel dengan apa yang terjadi saat ini: kita menyaksikan kebangkitan otoritarianisme di seluruh dunia, kita punya orang-orang yang membuat keputusan yang tidak berdasarkan sains, kita mengalami kekeringan dan gelombang panas, dan banyak kasus di mana alam telah kehilangan keseimbangan," kata sang jurnalis.

Yang menarik, Todd menambahkan, ini bukan satu-satunya periode dalam sejarah manusia ketika burung-burung ini dianiaya.

"Di AS kami juga memiliki apa yang disebut 'perang melawan burung gereja', meskipun itu berbeda dari apa yang terjadi di China," kata penulis itu kepada BBC Mundo.

Ceritanya berlatar pada pertengahan abad ke-19, ketika banyak orang Amerika memutuskan untuk mengimpor burung gereja dengan tujuan, antara lain, untuk membasmi serangga.

"Dan banyak orang mengimpornya, di Brooklyn, di Oregon, di Cincinatti, di seluruh wilayah Amerika. Dan dengan sangat cepat, dalam beberapa dekade, populasi burung gereja meledak. Dan mereka bisa agresif pada spesies lain.

"Lalu ada orang-orang, terutama ahli burung, yang mulai memperhatikan bahwa spesies burung asli tertentu menghilang dari lingkungan tertentu, yang sekarang ditinggali oleh burung gereja," kata Todd.

Kemudian ada semacam perang antara ahli ornitologi yang mengusulkan untuk membasmi sebagian burung gereja ini dan orang-orang yang ingin mempertahankannya.

Meski begitu, perdebatan ini tidak mengakibatkan konsekuensi yang sama seperti di China.

"Dan saya pikir tidak ada pihak yang berhasil memaksakan argumen mereka kepada pihak lain, tetapi jelas burung gereja yang jadi pemenangnya, karena saat saya diwawancarai oleh BBC, saya mendengar suara mereka melalui jendela rumah saya, dan saya berada di Minneapolis, di tengah-tengah AS. Jadi mereka kerasan di sini," tutup Todd.

1
3
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini