Kerugian tersebut, menurut Herifuddin, bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu, kata Herifuddin, menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menjabat lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun berselang.
Sehingga, Herifuddin menyebut bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya 2 (dua) kali masa jabatan harus dihapus.
"Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujarnya.
(Awaludin)