Secara historis, istilah "agen" di Rusia dan Georgia memiliki arti "mata-mata" dan "pengkhianat", memberikan konotasi negatif terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Ini menunjukkan bahwa mereka bertindak demi kepentingan kekuatan asing daripada berbuat baik untuk negara dan masyarakat.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Georgia Irakli Gharibashvili mengecam "keributan" atas rancangan undang-undang tersebut, yang dibacakan pertama kali di dalam parlemen pada Selasa (7/3/2023). Partai yang berkuasa Georgian Dream mempertahankan undang-undang tersebut sejak undang-undang AS pada tahun 1930-an. Argumen yang sama digunakan oleh Rusia setelah mengesahkan undang-undang serupa pada 2012.
Seperti diketahui, undang-undang Rusia sejak itu diperluas untuk menekan LSM yang didanai Barat, media independen, jurnalis, dan blogger. Siapa pun yang teridentifikasi sebagai agen asing sekarang harus menyorot label agen asing pada publikasi mereka.
Stasiun TV pendukung oposisi juga menjuluki undang-undang yang diusulkan itu sebagai "hukum Rusia".
Georgia diketahui telah ‘melamar’ ke Uni Eropa untuk status kandidat dan juga bertujuan untuk bergabung dengan NATO, tetapi kepala kebijakan luar negeri UE Josep Borrell memperingatkan bahwa RUU itu "tidak sesuai dengan nilai dan standar UE".
Ketegangan politik di Georgia telah meningkat dengan invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina, dilihat oleh banyak orang Georgia sebagai perang agresi oleh Moskow, dan ribuan orang Rusia telah melarikan diri ke sana. Namun, pemerintah di Tbilisi mengambil sikap netral, menolak untuk secara terbuka mendukung Ukraina atau menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
(Susi Susanti)