Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Amanat Konstitusi sebagai Acuan Soccer Diplomacy

Opini , Jurnalis-Kamis, 23 Maret 2023 |12:47 WIB
Amanat Konstitusi sebagai Acuan <i>Soccer Diplomacy</i>
Irman Gusman/Foto: Okezone
A
A
A

POLEMIK tentang rencana kehadiran kesebelasan U-20 Israel di Indonesia ternyata bergulir di masyarakat satu bulan menjelang peringatan 68 tahun Konferensi Asia-Afrika. Untuk menyikapi hal itu, coba kita membuka lembaran sejarah tentang rentetan peristiwa menjelang KAA Bandung, 18-24 April 1955.

Waktu itu Menteri Luar Negeri India, Burma (kini Myanmar) dan Sri Lanka mengusulkan kepada Menlu Sunario agar Israel diundang ke KAA Bandung. Tapi ketika Sunario melaporkan usulan tersebut, Presiden Soekarno dengan tegas menolaknya.

Soekarno katakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itu pula bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”

Tiga tahun setelah itu, pada 12 Mei 1958, Ramang Makassar, mencetak dua gol ke gawang kesebelasan RRT pada menit ke-47 dan dengan tendangan salto di menit ke-78, dalam pertandingan di Lapangan Ikada (kawasan Monas) yang dipadati 80.000 penonton. Bendera Merah Putih bertaburan di stadiun itu, Sorak-Sorak Bergembira karya Cornel Simanjuntak membahana di udara, bahkan di jalan-jalan raya di Jakarta, dan seantero Nusantara bertempik sorak.

Kemenangan yang diberitakan di seluruh dunia itu menyisakan satu babak lagi dalam kualifikasi regional dimana Tim Garuda (nama PSSI waktu itu) ditempatkan satu grup dengan Sudan, Mesir, dan Israel. Lolos dari babak tersebut maka Tim Garuda akan terbang ke fase akhir Piala Dunia yang akan diadakan di Stockholm, Swedia.

Tapi gegap-gempitanya kegembiraan rakyat Indonesia ketika itu tak membuat Presiden Soekarno mengubah sikap. Soekarno secara tegas melarang Indonesia bertanding satu grup dengan Israel. Sebab “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kalau disuruh memilih antara Indonesia mendapat peluang emas bertanding di World Cup dan berpeluang membawa pulang piala berlapis emas 18 karat seberat 6,17 kilogram itu, ataukah Indonesia konsisten membela bangsa yang terjajah, maka Soekarno pasti memilih opsi kedua.

Kalau didesak, mungkin Soekarno akan katakan, Go to hell with your trophy. Bukan karena negeri ini tak kekurangan emas, tapi penderitaan bangsa Indonesia yang dijajah berabad-abad jauh lebih besar dari kebanggaan sesaat mendekap Piala Dunia yang hanya bertahan empat tahun.

Itulah sikap resmi pemerintah Indonesia sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Dan sikap seperti itu juga yang kurang tegas diperlihatkan oleh pemerintah kita saat ini, ketika kesebelasan U-20 Israel, sesuai agenda FIFA, direncanakan akan dihadirkan dalam babak kualifikasi enam group World Cup pada 20 Mei-11 Juni 2023.

Kurang jelas ketegasan dalam pernyataan sikap dari Pejambon. Sikap politik luar negeri Indonesia tak boleh dikesankan seolah-olah tersandera oleh aturan teknis sebuah federasi sepak bola. Sebab politik luar negeri jauh lebih luas cakupannya ketimbang urusan sepak bola. Dan meskipun aturan teknis pertandingan bisa disesuaikan, tapi amanat konstitusi tak boleh dikompromikan.

Kurang elok apabila dikesankan seolah-olah kedaulatan negara harus tunduk pada aturan sebuah federasi olahraga, meskipun alasannya adalah jadwal World Cup diatur oleh FIFA dan bahwa keikutsertaan tim sepakbola Israel tak mempengaruhi sikap pemerintah yang konsisten mendukung Palestina. Sebab narasi yang kurang elok dapat memunculkan ambiguitas dalam berdiplomasi dan tak menunjukkan kecanggihan diplomasi kita.

Ketidaktegasan sikap yang dimunculkan itu tak konsisten dengan Peraturan Menteri Luar Negeri sendiri, yaitu Permenlu Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, yang secara tegas melarang pengibaran bendera Israel di wilayah NKRI. Juga melarang lagu kebangsaan Hatikva dinyanyikan di Indonesia.

Qatar tak sebesar Indonesia dan secara pertimbangan geostrategis pun tak sekuat posisi dan kapasitas Indonesia. Tapi negara kecil itu berani memboikot negara sekuat Rusia dalam turnamen World Cup 2022. Karena ia konsisten sebagai negara berdaulat yang lebih mengutamakan kepentingan dalam negerinya ketimbang tekanan dari negara besar mana pun.

Yang perlu diupayakan adalah bukan mengutak-atik aspek teknis pertandingan agar tim Israel tetap bisa bertanding tanpa adanya kesan pengakuan terhadap negara tersebut. Bukan di situ masalahnya. Itu salah fokus.

Yang perlu dilakukan adalah menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang tak mau didikte oleh negara lain atau pun federasi olahraga mana pun. Bukankah politik luar negeri Indonesia tunduk pada konstitusi dan diabdikan untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional?

Benar bahwa rencana kedatangan tim U-20 Israel itu bukan atas undangan pemerintah Indonesia melainkan atas pengaturan FIFA. Tetapi sebagai tuan rumah, Indonesia berhak mengatakan kepada FIFA bahwa kehadiran Israel bukan hanya merupakan urusan olahraga, tetapi juga urusan penyimpangan terhadap konstitusi sehingga tak bisa dikompromikan.

Penjelasan demikian perlu disampaikan secara tegas, agar FIFA sebagai otoritas penyelenggara World Cup dapat mencari lokasi alternatif di negara lain untuk tim Israel bertanding. Itu semestinya merupakan tugas FIFA, asalkan pemerintah bisa memberikan pemahaman secara canggih dan meyakinkan tentang penolakan masyarakat Indonesia terhadap rencana kehadiran tim U-20 Israel.

Justru di sini kapasitas diplomasi kita sedang diuji di hadapan mata jutaan rakyat Indonesia dan komunitas internasional. Tapi di sini pula muncul peluang terbaik, sebetulnya, bagi Kemlu RI untuk menjalankan bukan saja politik luar negeri yang bebas aktif, tetapi lebih jauh dari itu, politik luar negeri yang assertive―mampu mengambil inisiatif untuk membalikkan polemik yang tengah bergulir ini menjadi kesempatan emas untuk berperan secara lebih substantif dan efektif dalam upaya meredakan ketegangan Israel-Palestina.

Dengan kapasitas Indonesia saat ini, semua ingredients untuk itu sudah tersedia, tinggal menunggu kecanggihan diplomasi pemerintah. Sebab di era Soekarno, pemerintah Indonesia tak sudi tunduk pada kemauan bangsa-bangsa kolonial. Soekarno bahkan menggemparkan Sidang Umum PBB ketika ia memperkenalkan Pancasila, bagaikan seorang mahaguru yang sedang mengajari bangsa-bangsa untuk To Build the World Anew!

Di era Soeharto pun pamor politik luar negeri Indonesia sangat kuat, bahkan IGGI dibubarkan, meski kemudian negara kita diutak-atik oleh IMF. Tapi kecanggihan diplomasi Indonesia diakui dunia ketika menjadi interlocutor konflik Kamboja dan Co-host Paris International Conference on Cambodia.

Kecanggihan diplomasi seperti itu sangat dirindukan di masa sekarang. Tak perlu kita timid―seolah tak berani tampil sesuai kekuatan dalam negeri yang justru diakui dunia. McKinsey memprediksikan Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ke-7 di dunia setelah tahun 2030. Tapi benar apa kata Soekarno, “Kekurangan kita adalah kurang percaya diri.”

Rakyat Indonesia sedang menilai, sejauh mana pemerintah konsisten menegakkan kedaulatan negara dan bangsa sehubungan dengan rencana kehadiran tim U-20 Israel. Juga sejauh mana pemerintah bisa membalikkan polemik ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan pamor politik luar negeri kita di mata dunia.

Sebab kepatuhan kita pada konstutisi bukan hanya agar “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, melainkan lebih jauh dari itu, “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Saya membayangkan, andaikan saja Soekarno masih hidup, mungkin semua menteri Kabinet akan dipanggil dan disemprot, atau mungkin juga ada yang sudah dipecat, karena tak mampu tegas seperti dia.

Dalam konteks diplomasi internasional di masa sekarang, suatu negara boleh saja berseberangan dengan negara lain dalam hal-hal tertentu, tetapi tetap bisa bekerja sama dalam banyak bidang lainnya. Karena kepentingan dalam negeri dan kedaulatan menjadi acuan yang konsisten ditegakkan.

Hubungan Indonesia-Israel pun demikian. Dalam bidang teknologi, misalnya, satu tim profesional teknologi yang beranggotakan enam orang dari Israel-Asia Center yang dipimpin oleh Rebecca Zeffert berkunjung ke Jakarta selama enam hari pada Juli 2022 untuk mengeksplorasi peluang investasi, bisnis teknologi, dan inisiatif dampak sosial.

Israel-Asia Center juga mengadakan diskusi online dengan hampir 100 peserta dari Israel dan Indonesia, tapi di situ tak ada lagu Hatikva dinyanyikan, tak ada bendera Israel dikibarkan.

Delegasi profesional Israel tersebut bertemu dengan sejumlah pemimpin bisnis di Jakarta serta mengunjungi pusat-pusat start-up dan akselerator. Israel-Asia Center bertujuan meningkatkan nilai perdagangan bilateral yang kini tercatat sekitar USD500 juta per tahun, menurut Rebecca Zeffert. Itu urusan business to business. Tapi urusan kedaulatan dan amanat konstitusi tak bisa dikompromikan.

Saran saya mengenai rencana kehadiran tim Israel adalah agar pemerintah mengambil langkah-langkah cerdas yang tak terkesan mereduksi kedaulatan kita, tapi dapat memetik manfaat yang lebih besar dari keterlibatan aktif Indonesia dalam upaya menghadirkan two-state solution terhadap konflik Israel-Palestina.

Sebagai kepala negara demokrasi terbesar ketiga di dunia―negara yang secara konstitusional menentang kolonialisme―dan memegang mandat founding father Soekarno untuk Membangun Dunia Kembali, Presiden diharapkan dapat menyodorkan solusi cerdas seirama dengan amanat konstitusi, tetapi sekaligus juga menunjukkan kecanggihan dan kedewasaan berdiplomasi di pentas dunia.

Irman Gusman

Ketua DPD RI 2009-2016,

Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau

(Fahmi Firdaus )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement