Para penggugat menyatakan bahwa pada awal tahun 1993, seorang perwakilan Jakoa meminta dua kepala desa untuk tidak hanya masuk Islam tetapi juga membujuk warga desa lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Mereka mengklaim awalnya penduduk desa menolak. Namun, akhirnya mereka mendapat ancaman dari seorang petugas. Ancaman itu berupa pengrusakan rumah dan tanaman di kebun hingga mengejar dan menyiksa warga. Selain itu, mereka juga mengatakan petugas itu melarang warga melakukan perjalanan ke luar desa.
Para penggugat mengatakan bahwa penduduk desa tidak diberi informasi terkait konsekuensi memeluk Islam. Yakni mereka harus tunduk pada sistem hukum Islam Pahang dan setiap anak yang mereka miliki akan menjadi muslim secara otomatis.
Singkat cerita mereka mengaku diminta membaca kalimat Syahadat meski mereka tak mengerti artinya. Kala itu, mereka juga mengaku tak bisa mengucapkan kalimat Syahadat dengan benar.
Setelah melakukan Syahadat, mereka mulai beribadah dengan cara islam. Kendati demikian, di saat yang bersamaan mereka juga tetap mempraktikkan kepercayaan budaya dan agama Bateq.
Memasuki tahun 2000-an, mereka mulai bisa membaca dan menemukan kata Islam di dalam kartu tanda penduduk mereka.
BACA JUGA:
Pada tahun 1993, para tergugat secara salah mengeksploitasi pengaruh mereka terhadap penduduk asli di desa tersebut dan, melanggar kewajiban mereka kepada mereka, secara tidak sah, secara ilegal dan menggunakan paksaan untuk mengubah mereka menjadi Islam," lanjut pernyataan penggugat.
“Dengan melakukan itu, mereka melanggar kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan kepercayaan budaya dan agama masyarakat tersebut,” imbuh penggugat.