 
                INI adalah pekan terakhir Ramadhan 1444 Hijriyah. Pekan di mana memadu padan dua kesibukan orang Indonesia, yaitu memusatkan bathin agar mencapai Idul Fitri yang sesungguhnya nanti dan memusatkan raga agar Lebaran benar-benar bahagia bersama keluarga esok lusa. Perpaduan antara kepentingan duniawi dan ruhaniah dalam satu waktu dan momentum yang sama. Sungguh luar biasa pastinya. Terhadap fenomena di atas, saya tergelitik untuk menganalisis bagaimana kita bisa menggapai dua hal itu dalam waktu yang sama, dengan kepentingan berbeda. Bisakah raga dan jiwa dimenangkan dalam waktu yang bersamaan.
Ilmu pengetahuan manusia telah mencapai satu hipotesa bahwa Ramadhan selain belajar menahan haus dan lapar, memiliki tujuan lain yaitu meningkatkan kemampuan bathin agar kelak manusia tumbuh menjadi pribadi yang ramah, baik, bijaksana, dermawan dan memiliki kepekaan sosial. Proses ritual Ramadhan adalah dibagi pada tiga fase, yaitu fase 10 hari pertama, lalu 10 hari kedua dan 10 hari terakhir. Pada fase pertama diyakini sebagai proses pembersihan kotoran material yang melekat dalam internal tubuh, toksin sel rusak. Lalu fase 10 hari kedua sebagai aktivasi sel-sel baru sehingga kondisi tubuh lebih fresh. Pada fase akhir adalah momentum kelahiran baru manusia dengan sel-sel baru tersebut. Pada fase inilah manusia beriman yang menjalankan ibadah Ramadhan mencapai puncaknya. Puncak keindahan puasa, awal kelahiran kembali tubuh dengan sel-sel baru itu, Idul Fitri.
Sebagai "perayaan" atas keberadaan di puncak tersebut, keberhasilan individual vertikal itu, lalu Tuhan memerintahkan manusia beriman untuk menengok kiri kanan secara horizontal dengan menyegerakan zakat dan dianjurkan memperbanyak infak. Penyajian zakat adalah implementasi dari pengalaman 10 hari pertama betapa perut keroncongan itu menyiksa, membuat tubuh lemas kurang daya. Maka berbagilah kepada para dhuafa yang kesehariannya mengalami hal itu.
Lebih jauh dari itu, perintah membayar zakat fitrah yang include sebagai rangkaian ibadah Ramadhan itu adalah simbolik bahwa keserakahan pada harta benda harus dihilangkan. Biasakan untuk terus memberi, bukan terus untuk mengumpulkan materi. Sebab menumpuk-numpuk harta adalah prilaku Korun. Prilaku yang sama tak banyak memiliki kemaslahatan. Malah lebih mendekat pada kemusyrikan. Seolah takut kehilangan rezeki, takut kehabisan makanan adalah prilaku syirik sebab soal rezeki adalah mutlak urusan Tuhan. Maut, celaka, dan rezeki adalah urusan-Nya.
Di puncak Ramadhan ini, agama tak hanya mewajibkan berzakat fitrah sebelum khotib Idul Fitri naik mimbar, tetapi juga sangat menganjurkan untuk menunaikan zakat mal, infak, sedekah dan kegiatan derma harta lainnya. Seolah kembali ditegaskan bahwa harta bukanlah tujuan utama kehidupan. Kekayaan yang menumpuk bukanlah kebaikan untuk kehidupan alam masa depan. Sekali lagi bukan, bukan tujuan mengapa manusia dilahirkan.
Mengapa manusia beriman tak boleh serakah dengan harta benda? Tak boleh berlebihan menyimpan kekayaan. Harta yang telah diperoleh, harus kembali digulirkan dan tak diperkenankan berlama-lama di tangan, apalagi di tabungan. Harta-harta itu akan sangat bermanfaat jika segera diberdayagunakan, lebih baik jika diinfakkan, disedekahkan. Paling tidak, harta yang dikuasai itu dizakati, dikeluarkan minimal 2,5 persennya. Berzakat 2,5 persen itu adalah perilaku minimal terhadap upaya untuk tidak terjerumus pada lubang ancaman pedihnya harta benda. Zakat 2,5 persen harta yang disimpan itu adalah denda. Denda terhadap kekayaan yang harusnya memberikan manfaat bagi makhluk lain malah dikuasai tanpa manfaat. Sebab di luar sana, banyak yang kelaparan, banyak yang kekurangan.
Perintah berzakat adalah perintah agar sumber daya ekonomi tak dikuasai segelintir orang. Jika diibaratkan sebagai hidangan, alam raya dan segala isinya ini adalah makanan yang Tuhan sajikan. Setiap makhluk, siapapun dia dan apapun ia memiliki takaran hak yang sama atas harta benda itu. Dari mulai makhluk generasi pertama hingga generasi terakhir (jika ada). Dari makhluk bernama manusia berakal hingga makhluk halus yang tak berakal. Semua sama, memiliki hak setara, mendapat proporsi yang seimbang. Tidak ada pembeda, entah dia sebagai manusia atau sebagai makhluk halus.
Lantas dengan kemampuan akal fikir dan segala daya upayanya, masing-masing manusia memiliki kemampuan berbeda dalam meraih harta benda. Realitasnya akan ada yang kekurangan, berkecukupan dan sebagian berlebihan. Tuhan telah menentukan hukum ini sebagai ketentuan-Nya. Dari kemampuan mengepul sumber daya ekonomi ini, muncul kelas ekonomi masyarakat, ada orang kaya, orang miskin dan para dhuafa. Kelas ekonomi masyarakat akan terbagi pada golongan fakir, miskin dan agniya atau orang kaya.