Dia menuturkan, ternyata feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki. "Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya," ujarnya.
Sedangkan Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti. Bahkan, mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya.
Selain itu, kata dia, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya agar jabatannya bisa bertahan.
"Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral," ujarnya.
Selanjutnya, dia menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya. Dia menambahkan, hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.
Begitu juga dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812 merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah.
Dia mengungkapkan, Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat mitos pemalas.
Bonnie juga menyoroti trauma terhadap paham kiri dan kanan. Menurut Bonnie, kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespons segala hal yang terjadi di status quo. Dirinya tegas menolak mitos buruh pemalas.
“Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikkan, maka akan semakin malas bekerja," ujarnya.