Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kesaksian Algojo PKI di Aceh: Saya Masih Simpan Parangnya

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Sabtu, 15 Juli 2023 |05:08 WIB
Kesaksian Algojo PKI di Aceh: Saya Masih Simpan Parangnya
Para tahanan yang dituduh sebagai antek PKI. (Foto: Bettmann/Getty Images/BBC)
A
A
A

Penelitian sejarawan Australia, Jess Melvin, yang kemudian dibukukan pada 2018 lalu berjudul The Army and The Indonesian Genocide-Mechanics of Mass Murder, buku edisi bahasa Indonesia diterbitkan pada 15 Februari 2022 dengan judul ‘Berkas Genosida Indonesia-Mekanisme Pembunuhan Massal 1965-1966’, memperkirakan jumlahnya kemungkinan mencapai 10.000 jiwa.

Pada tahun-tahun gelap itu, di Kota Sigli dan sekitarnya, ratusan orang-orang yang dituduh PKI ditangkap dan digelandang ke sebuah penjara di kota itu.

Sebagian mereka dipaksa naik ke dalam truk untuk menuju lubang-lubang pembantaian, antara lain di salah satu sudut di perbukitan Seulawah, tanpa diadili terlebih dahulu.

Udin adalah saksi dan berada dalam pusaran kekerasan itu. Sumber BBC News Indonesia di Sigli menyebut dia adalah bagian dari tim 'tukang jagal'.

Namun dalam wawancara, Udin mengaku hanya berperan kecil sebagai petugas yang berjaga di pos penjagaan tak jauh dari lokasi pembantaian.

 

Malam Jahanam di Simpang Betung

Lebih dari 55 tahun kemudian, ingatan Udin atas tindakan kejam di malam-malam jahanam di lubang-lubang pembantaian di sekitar Simpang Betung di perbukitan itu, sepertinya, tak lekang oleh waktu.

Udin masih ingat apa yang disebutnya percakapan terakhir dan sekelumit kejadian di menit-menit menjelang para algojo mengayunkan parangnya ke tengkuk para korban.

"Ada yang membawa kitab Surat Yasin di kantong bajunya," ungkap Udin kepada BBC News Indonesia, pertengahan Oktober 2021 lalu.

"Tapi," imbuhnya cepat-cepat, "ada pula yang memberikan jawaban murtad 'mana ada Tuhan, apa Tuhan, mana Tuhan?'" Ini barangkali semacam pesan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang-orang komunis itu.

Saya bertemu Udin di sebuah kedai kopi tidak jauh dari salah satu lokasi pembantaian di Simpang Betung, disebut pula sebagai 'Cot PKI' atau 'Cot Tengkorak'. Cot adalah bukit dalam bahasa Aceh.

Perawakannya gempal dan tingginya sekitar 155 cm. Kopiah hitam menutupi rambutnya yang memutih. Kumis tipis habis dicukur melintang rapi.

"Saya dulu gagah, berkumis tebal," Udin terkekeh. Dia menyebut dirinya 'jagoan yang ditakuti' di kampungnya pada saat itu.

Siang itu Udin memang acap kali mengumbar tawa. Hampir semua pertanyaan seputar peristiwa pembantaian di perbukitan sepi itu dia jawab.

Namun semula tidaklah gampang meyakinkannya agar mau 'berbicara'. Udin mengaku harus berkonsultasi dengan seseorang yang disebutnya ulama untuk mengiyakan atau tidak.

Setelah sang ulama mengeluarkan semacam petunjuk, Udin akhirnya bersedia menerima BBC Indonesia, tapi dengan syarat, yaitu, jati dirinya harus disembunyikan.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement