Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengenal Tradisi Malam 1 Suro di Yogyakarta: Ngelih, Mlaku dan Melek

Erfan Erlin , Jurnalis-Selasa, 18 Juli 2023 |06:08 WIB
Mengenal Tradisi Malam 1 Suro di Yogyakarta: <i>Ngelih, Mlaku dan Melek</i>
Foto: Kraton Jogja
A
A
A

YOGYAKARTA - Masyarakat Yogyakarta menganggap malam 1 Suro atau malam 1 Muharram sebagai malam yang sakral sehingga disambut dengan tradisi dan ritual.

Tokoh Kejawen Gunungkidul yang aktif dalam berbagai kegiatan pelestarian alam, Sigit Nurwanto mengungkapkan, malam 1 Suro adalah malam tahun barunya masyarakat Jawa. Pada malam itu masyarakat Jawa akan melakukan introspeksi diri, apa yang telah dilakukan pada tahun yang telah dilalui dan menyambut tahun yang baru.

"Harapannya ketika dia memiliki kesalahan di tahun itu tidak akan mengulanginya di tahun yang akan datang," katanya, Kamis (28/7/2022).

 BACA JUGA:

Pria yang berprofesi sebagai dalang ini mengatakan, karena kesakralannya inilah banyak orang melakukan laku atau tradisi prihatin. Tradisi ini dilakukan dengan topo broto atau ngesu budi dalam rangka introspeksi.

Menurutnya, ada tiga jenis prihatin yaitu Ngelih (lapar), Mlaku (berjalan) dan Melek (tidak tidur). Ketiga jenis prihatin ini biasanya dilakukan masyarakat Jawa ketika malam 1 Suro. Ngelih dilakukan dengan cara berpuasa atau cegah dahar (menahan untuk makan). Biasanya masyarakat Jawa melakukan puasa selama beberapa hari yaitu sejak malam satu suro hingga beberapa hari kemudian.

Sedangkan Mlaku atau berjalan dilakukan pada malam 1 Suro. Di Kota Yogyakarta biasanya dilakukan secara berjamaah, yaitu Mubeng Beteng (berjalan mengelilingi Keraton).

"Di mana biasanya topo (bertapa) mlaku (berjalan) mubeng (mengitari) beteng," katanya.

Sedangkan Melek yaitu mencegah tidur sesuai dengan kemampuannya. Terkadang laku prihatin ini dibingkai senang-senang, dengan menggelar Sholawatan Jowo, Kenduri dan juga wayangan. Tradisi wayangan diambil filosofinya adalah melek (tidak tidur), kalau mubeng beteng yang diambil adalah berjalan.

 BACA JUGA:

Ketiga tradisi menyambut malam 1 Suro sudah dilakukan sejak jaman dahulu. Tradisi Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dilaksanakan sejak zaman Sri Sultan HB I.

"Mungkin sebelumnya ada yang mubeng wilayah mereka masing-masing," ungkapnya.

Sigit menyebut, tradisi Mubeng Beteng sejatinya bukan hajatan dari Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, namun hajatan kawulo dalem. Artinya, hajatan dari masyarakat yang memiliki keinginan agar negara Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi negara yang Ayem Tentrem Gemah Ripah Loh Jinawi.

“Kenapa zaman Sri Sultan HB I masyarakat melakukan ritual mubeng beteng, karena di sana merupakan pusat pemerintahan di mana tubuh Yogyakarta atau jantungnya Yogyakarta ada di sana,” katanya.

Ketika Laku Prihatin tidak dilaksanakan, maka nilai-nilai luhur terkait tuntutan hidup, pergaulan dan spritual akan hilang terbawa moderinasi perkembangan jaman yang lebih wah. Hal ini juga mengancam akan hilangnya nilai andhap ansor, lemah lembut yang terbawa tradisi baru. Jika ini dibiarkan maka tradisi akan hilang tergantikan tradisi dari mancanegara.

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement