Seiring pula dengan kepiawaiannya membalah kitab-kitab fiqih madzhab Asy-Syafi’i, semisal Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, dan beberapa kitab jenis lainnya.
Pada tahun kemerdekaan, Mbah Moen memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, di bawah bimbingan KH Abdul Karim atau terkenal dengan sebutan Mbah Manaf.
Selain kepada Mbah Manaf, Kiai Maimoen juga menimba ilmu agama dari KH Mahrus Ali dan KH Marzuqi. Di Lirboyo, Mbah Moen nyantri selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menenggak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Mbah Moen tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah.
Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH Ahmad bin Syu’aib. Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama di bidangnya, antara lain:
- Sayyid Alawi bin Abbas Al Maliki
- Syekh Al-Imam Hasan Al-Masysyath
- Sayyid Amin Al-Quthbi
- Syekh Yasin bin Isa Al- Fadani
- Syekh Abdul Qodir Almandily
Dirinya kemudian menetap Makkah Al- Mukarromah dua tahun lebih hingga kemudian kembali ke Tanah Air. Ia masih melanjutkan semangatnya untuk ngangsu kaweruh yang tak pernah surut.
Walau sudah dari Arab, Mbah Moen masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama besar tanah Jawa yang ada kala itu.