JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus menggencarkan berbagai strategi agar masyarakat adaptif dan tangguh untuk mewujudkan zero victim terhadap ancaman bencana gempabumi dan tsunami. Diantaranya melalui Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG) serta Program Tsunamy Ready Community di seluruh penjuru Indonesia.
“Dua strategi tersebut menjadi senjata kami untuk mewujudkan target zero victim dengan mendorong kesiapsiagaan masyarakat, selain tentunya pengembangan dan penguatan teknologi sistem peringatan dini,” ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan resminya, Kamis (12/10/2023).
Dwikorita yang hadir dalam Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Syah Kuala itu menyampaikan bahwa kesenjangan pengetahuan di masyarakat mengenai gempabumi dan tsunami coba diisi dengan menggandeng Pemerintah Daerah dan BPBD, melalui SLG dan Program Tsunami Ready Community.
Harapannya, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak panik karena terampil apa yang harus dilakukan jika bencana gempabumi dan tsunami terjadi sewaktu-waktu.
Di SLG, kata Dwikorita, BMKG memberikan informasi mengenai potensi bahaya gempabumi dan tsunami di daerah pelaksanaan. BMKG juga membantu pemerintah daerah setempat dengan memberikan Peta Bahaya Tsunami di lokasi pelaksanaan. Hal ini bertujuan agar sebagai acuan pemerintah daerah dalam menyusun mitigasi gempabumi dan tsunami di daerahnya.
Sementara, Tsunami Ready Community adalah program peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dengan berbasis pada 12 indikator yang telah ditetapkan UNESCO-IOC. Tujuannya, menyiapkan masyarakat agar senantiasa siap siaga dan tidak gagap dalam menghadapi ancaman gempabumi dan tsunami. Selain itu, guna mewujudkan SAFE OCEAN, salah satu outcome dari UNDecade for Ocean Science.
Dwikorita mengatakan peristiwa Tsunami Aceh, Tsunami Palu serta Selat Sunda menunjukkan bahwa selain membangun sistem peringatan dini yang cepat, tepat, dan akurat, juga dibutuhkan kesigapan masyarakat dalam merespon peringatan dini tersebut. Maka dari itu, BMKG juga terus berupaya mewujudkan “Early Warning, Early Action” guna semakin meminimalisir risiko bencana.
“Waktu kedatangan tsunami berbeda-beda di setiap wilayah, sangat lokal. Tsunami Palu hanya butuh 2 menit setelah gempa, sementara di tempat lain waktu tiba tsunami bisa 30 menit atau lebih lama. Oleh karenanya, kami ingin masyarakat bisa memanfaatkan golden time sebaik mungkin untuk menyelamatkan diri. Karenanya, kami mendorong kepada masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir untuk segera berlari ke tempat aman pada elevasi yang lebih tinggi, begitu merasakan goyangan gempa bumi, tanpa harus menunggu peringatan dini,” imbuhnya.