Tidak ada kepala daerah perempuan yang karena kapasitasnya dia mampu tampil sebagai pemenang merebut kekuasaan. Kepala daerah perempuan yang terpilih cenderung karena latar belakang patriarki. Ibu Ratu Atut Chosiyah adalah anak kandung Tb. Chasan Sochib yang dikenal sebagai jawara dan menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Banten. Ibu Ratu Tatu Chasiyah dan Airin Rahmi Diany tentu saja lebih kuat lagi kekerabatannya, karena merupakan anak Tb Chasan Sohib sekaligus adik/ipar Ratu Atut Chosiyah. Sementara itu, Ibu Irna Narulita adalah istri Ahmad Dimyati Natakusumah, Bupati Pandeglang selama dua periode berturut-turut sebelumnya. Sebagai perempuan nomor satu di Pandeglang, Narulita didampingi wakilnya, Anto Warsono Arban yang merupakan menantu dari Ibu Ratu Atut Chosiyah. Kemudian, Bupati Lebak Ibu Iti Octavia Jayabaya adalah anak dari Mulyadi Jayabaya yang merupakan mantan Bupati Lebak dua periode 2003-2013.
Fenomena ini mencerminkan quality gender hanya bertumpu pada perempuan yang memiliki keistimewaan ekonomi dan nama besar keluarganya yang mampu menjadi kepala daerah. Dinasti politik selama ini dikenal dengan citra negatif karena ambisi yang dituju cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Mempertahankannya pun tidak jarang dilakukan melalui cara-cara menyimpang seperti penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Terlebih lagi, jika kepentingan yang dibawa justru bukan pada upaya memperjuangan kepentingan gender melainkan berkutat pada kepentingan pragmatis keluarga.
Jika saja keterpilihan para perempuan ini ditopang oleh kapasitas memimpin dan visi besar membangun daerah, mungkin saja aroma dinasti bisa ter-tawar-kan oleh prestasi kemajuan daerah yang signifikan. Jika melihat kasat mata, Ibu Iti Octavia tampak tidak mampu membawa Kabupaten Lebak lebih baik dari kepemimpinan ayahnya. Selama 10 tahun kepemimpinan terakhir, tak banyak kemajuan signifikan di Lebak. Begitupun dengan Ibu Irna Narulita. Persoalan Pandeglang hingga kini masih berkutat dengan infrastruktur jalan yang buruk di sana-sini, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan yang masih minim. Infrastruktur ekonomi pun masih kelihatan terbelakang. Sementara di Kabupaten Serang, persoalan mendasar tentang kantor layanan publik tak kunjung bisa dibereskan. Membangun kantor untuk bupati dan Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) saja masih belum tuntas hingga saat ini.
Kapasitas memimpin yang penulis maksud tidak sekadar merujuk pada kemampuan menjalankan administrasi pemerintahan, akan tetapi juga untuk menyuarakan kepentingan gender, baik yang bersifat praktis maupun strategis. Di sinilah terdapat pergeseran makna baru dari politik gagasan menuju politik kehadiran. Karena kehadiran saja tidak cukup, tetapi lebih penting jika dapat menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin perempuan.
Refleksi Seperempat Abad
Menebak Pilkada tahun depan, sepertinya kandidat Gubernur atau Wakil Gubernur Banten masih akan mewarnai wajah-wajah perempuan. Poster, baliho, spanduk, dan alat peraga ruang publik sudah dipenuhi oleh wajah Airin Rahmi Diany. Melalui slogan ‘Airin Tiada yang Lain’, mantan Wali Kota Tangerang Selatan ini mencoba membangkitkan romantisme kekuatan Ratu Atut Chosiyah sebelumnya. Dengan ditopang kepala daerah segelombang dan romantisme kekuasaan Ratu Atut, Airin tampak yakin bisa merebut posisi orang pertama di kekuasaan Banten. Begitupun Iti Octavia Jayabaya, di beberapa media dan lembaga survei, namanya masuk perhitungan kuat. Meski belum pasang poster, baliho, dan sejenisnya sebanyak Airin, nama Iti selalu masuk pada perhitungan awak media dan para konsultan politik. Lain halnya Irna Narulita. Karena tak mungkin menjabat kembali Bupati Pandeglang, tak sedikit yang tengah menebak-tebak ke mana arah kekuasaan politik istri Dimyati Natakusumah ini akan berlabuh. Gubernur atau Wakil Gubernur Banten tentu adalah pilihan strategis. Bukan rahasia umum, Ratu Tatu Chasanah menjadi bayangan dari Airin Rahmi Diany. Dia disebut-sebut menjadi cadangan jika elektablitias Airin tak mampu mendongkrak prediksi kemenangan sesuai yang diharapkan sang dinasti politik.
Sebenarnya, penulis tidak mempersoalkan secara substansial siapa Gubernur Banten ke depan, baik dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan tentu sama saja. Hal yang terpenting adalah gubernur atau wakil gubernur yang bisa membuat birokrat Banten bermartabat, tidak hedonis. Pegawai negeri yang ikhlas melayani, bukan pekerja yang tengah memburu harta. Siapapun Gubernur atau Wakil Gubernur Banten nantinya, yang terpenting adalah mereka yang bisa membangun ekonomi yang berkeadilan dan tidak memposisikan birokrat sebagai kelompok sosial pada strata ekonomi tertentu.
Gubernur Banten ke depan adalah sosok yang mampu mendistribusikan sumber daya ekonomi secara seimbang, menipiskan jarak kepemilikan harta antara si kaya dengan si miskin. Mampu menyeimbangkan kemajuan utara dan selatan. Gubernur yang bisa mengalirkan kelebihan air bersih di Pandeglang untuk kebutuhan pokok masyarakat pesisir. Gubernur yang bisa menyalurkan kelebihan putaran uang di Tangerang ke daerah Banten Selatan. Selebihnya, adalah gubernur yang bisa memitigasi bencana dengan baik.
Gubernur Banten ke depan adalah figur yang tidak menjadikan bencana alam sebagai sebuah tradisi atau sekadar fenomena belaka. Gubernur yang tidak menjadikan musim kemarau sebagai kebiasaan kekurangan air, sementara musim hujan jadi ajang kebanjiran. Sisanya, adalah pemimpin yang memperlakukan siapapun dengan setara, egaliter seperti halnya karakter ulama dan cendikia. Kalaupun harus jawara, ya jawara yang tunduk patuh pada karakter ulama, bukan sebaliknya, ulama yang bertindak seperti jawara.
Oleh
Ace Sumirsa Ali
(Pengurus PUB Lebak/Pengurus Salaka Institute/Wakil Ketua Baznas Provinsi Banten)
(Qur'anul Hidayat)