Keputusan Muhammadiyah Bengkulu itu mengakibatkan ayah Fatmawati, Hasan Din yang merupakan pegawai perusahaan lima besar Belanda bernama Borsumij (Borneo-Sumatra Maatschappij) sekaligus menjabat sebagai sekretaris Muhammadiyah dituntut oleh pemerintah kolonial untuk memilih satu di antara dua pilihan: keluar dari Borsumij atau menghentikan kegiatannya di Muhammadiyah yang seringkali konfrontatif terhadap pemerintah seperti rapat atau mengadakan arak-arakan yang berujung di kantor polisi.
Suasana tanah air pada 1923-1930 yang subur oleh pergerakan nasional membuat Hassandin tidak berpikir panjang untuk keluar dari Borsumy—yang menyediakan jaminan hidup layak dan memulai hidup dengan pendapatan tak menentu atas keputusannya untuk tetap berkhidmah pada Muhammadiyah sebagai jalur perjuangan kemerdekaan.
Bermula dari kedua orang tuanyalah Fatmawati mulai mengenal dan melibatkan diri dalam konferensi Muhammadiyah yang digelar secara rutin untuk membaca Al quran dan menyanyi.
Fatmawati pernah ditunjuk sebagai pembaca ayat suci Al quran pada pembukaan kongres Muhammadiyah di Palembang pada tahun 1936. Sejak remaja Fatmawati merupakan pelopor penggerak Nasyiatul Aisyiah di Bengkulu. Kesetiaan terhadap Muhammadiyah melalui Nasyiatul Aisyiah merupakan hasil penanaman norma Islam yang mendalam dan norma anti kolonialisme
Sejak remaja, Fatmawati selalu terlibat aktif dan berpartisipasi dalam berbagai pertemuan dan konferensi yang digelar oleh Muhammadiyah sebagai perwakilan dari Nasyiatul Aisyiah.
Meskipun tidak menjadi ketua, tetapi Nasyiatul Aisyiah sangat berpengaruh terhadap jiwa, sikap dan perilakunya. Juga setelah menikah bahkan Ketika menjadi ibu Negara, Fatmawati tetap lekat dengan ajaran, prinsip dan tradisi Nasyiatul Aisyiah.
(Khafid Mardiyansyah)