Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Aspek Religiositas dan Teori Hierarki Kebutuhan dalam Mengelola Organisasi Keagamaan

Opini , Jurnalis-Senin, 25 Desember 2023 |14:29 WIB
Aspek Religiositas dan Teori Hierarki Kebutuhan dalam Mengelola Organisasi Keagamaan
Frans Ruffino. (Foto: Dok Pribadi)
A
A
A

DUA kelompok sumber daya manusia ini biasanya hadir dalam setiap organisasi keagamaan dan menjadi keunikan saat mengelola tempat ibadah dan menjalankan kegiatan peribadatan sehari-hari. Pertama adalah tenaga profesional yang khusus dibayar untuk bekerja menjaga, merawat dan memimpin kegiatan ibadah. Satu lagi adalah pengurus organisasi keagamaan yang bekerja karena keikhlasan dan harapan mendapatkan pahala dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ya, organisasi keagamaan yang menjadi fokus bahasan ini adalah Dewan Kemakmuran Masjid atau biasa disingkat DKM di tempat saya tinggal di wilayah Jakarta Timur. Dua kata yang disampaikan pengurus lama dalam sambutan pembuka saat serah terima jabatan pergantian pengurus Agustus 2023 lalu. “Tidak mudah,’’ ujar Ketua DKM. Semula, saya tidak percaya kata-kata Ketua DKM dan meyakini dengan pengalaman di sejumlah organisasi, beragam teori mengenai manajemen dan komunikasi, dapat menjalankan organisasi secara efektif guna mencapai tujuan.

Sebut saja pendekatan manajemen klasik yang biasa digunakan dalam bidang manajemen yaitu teori yang digagas Henry Fayol. Teoris sekaligus industrialis asal Prancis ini menyampaikan sejumlah elemen manajemen untuk mengelola organisasi yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (commanding), pengkoordinasian (coordinating) dan pengendalian (controlling). Pemahaman akan teori Fayol dan pengalaman penerapan di organisasi sebelumnya menjadi pondasi dalam penyusunan rencana kerja dan program kerja DKM.

Dari sisi struktur organisasinya, penyusunan pengurus baru juga selaras dengan penerapan teori birokrasi Weber. Susunan pengurus DKM dibuat efisien dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi. Selain dibuat simple, organisasi juga disusun sesuai kepentingan untuk beribadah, dakwah, penggalangan dana dan sarana prasarana. Memang tidak sempurna, tetapi struktur organisasi yang menganut prinsip Weber ini tetap disesuaikan dengan kebutuhan dan jamaah yang ada.

Namun, apakah kegiatan rencana dan program kerja berjalan secara ideal? Jawabannya, tidak. Tingkat partisipasi dan keaktifan seluruh pengurus rendah sehingga kegiatan dan pengelolaan masjid hanya ditangani segelintir orang atau pengurus inti. Satu contoh, misalnya kegiatan pengajian rutin usai salat Subuh di akhir bulan tidak bisa melibatkan banyak pengurus, hanya sedikit yang aktif mengelola kegiatan. Mulai dari perencanaan untuk penentuan jadwal, ustaz pengisi pengajian, persiapan acara hingga konsumsi pun tidak terlaksana dengan baik. Seharusnya kehadiran pengurus dalam pengajian bukan sebagai jamaah biasa yang hadir untuk mendengarkan tausiah saja, tetapi justru mempersiapkan dan melayani. Kondisi yang terjadi ini bukan menjadi pangkal untuk saling menyalahkan atau mencari pembenaran. Perlu pemahaman yang berbeda saat menghadapi sejumlah masalah di organisasi keagamaan.

Aspek religiositas menjadi salah satu faktor yang turut menentukan tingkat partisipasi dan keaktifan pengurus. Dari kata asli religion yang artinya kepercayaan atau agama, religiositas adalah tingkat kesalehan atau tingkat pengabdian kepada agama. Mengapa kadar religiositas menjadi penentu, seperti disampaikan di awal tulisan, pengurus masjid bukanlah profesional yang dibayar atau mendapat gaji.

Pengurus inti memang tidak memiliki kekuatan atau daya paksa meminta jajaran pengurus untuk aktif mengelola kegiatan ibadah, muamalah dan merawat sarana prasarana masjid. Jika cara memaksa digunakan, maka akan banyak pengurus yang memilih untuk mundur dari organisasi. Pasalnya, bagi dirinya, menjadi pengurus DKM berdasarkan keikhlasan dan bukan gaji. Makin tinggi kadar religiositas yang tercermin dari kehadiran di masjid saat salat lima waktu, hadir di pengajian dan aktif di kegiatan masjid lainnya maka tugas dan kewajiban pengurus sesuai bidangnya tersebut akan lancar dan efektif.

Berbeda dengan posisi marbot, imam dan guru ngaji yang memang mendapatkan gaji bulanan dari pengurus DKM. Pengurus bisa memaksa petugas marbot, imam masjid dan guru ngaji melaksanakan tugasnya dengan baik. Apabila ketiga orang tadi melakukan wanprestasi, maka ancamannya adalah diberhentikan dan diganti dengan yang lain.

Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami tingkat partisipasi dan keaktifan pengurus organisasi keagamaan adalah Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow. Bekerja dalam tataran pemahaman akan human relations, teori Maslow menunjukkan bagaimana individu akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi hanya setelah kebutuhan yang lebih rendahnya telah terpenuhi.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement