Saat itu, Soekarno ingin mengimpor banyak barang untuk membangun rumah yang kemudian dikenal dengan Wisma Yaso di Jakarta.
Harapannya barang tersebut bisa masuk dari luar negeri dalam proses birokrasi yang tidak ribet dan berbiaya rendah. Untuk memuaskan keinginan itu, kata Hoegeng, hanya ada dua cara yang bisa dilakukan Bung Karno.
Pertama, buat surat perintah kepadanya agar proses impor bisa dilakukan dengan mudah dan bebas pajak. Kedua, membuat surat kepada Korea Utara untuk mengubah undang-undang agar tidak perlu mengklaim barang impor.
Hoegeng juga tidak segan-segan menindak siapa saja yang melanggar hukum, meski dekat atau dilindungi pejabat.
Di era orde baru, saat diangkat menjadi Menteri/ Panglima Angkatan Polisi (Pangak) atau Kapolri, Hoegeng menolak berbagai fasilitas, termasuk rumah dinas dan pengawalan.
Selama menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng bereaksi dengan mengarahkan seluruh Kapolda dan Satpam Pelabuhan untuk mencatat kekayaannya.Segera setelah itu, Hoegeng dipecat pada bulan oktober tahun 1971. Seiring dengan berkembangnya kasus-kasus lainnya yaitu pemerkosaan Sam Kuning yang diyakini melibatkan anak-anak pejabat Yogyakarta.
Jenderal Hoegeng, yang menjadi kapolri sejak 1968, dipecat sebelum memasuki tahun 1971 atau usia pensiun.
Pada akhir 1960-an, Hoegeng juga menemukan kasus penyelundupan mobil mewah yang melibatkan pengusaha Robby Tjahjadi, yang dikenal dekat dengan polisi, tentara, dan petugas bea cukai.
(Rina Anggraeni)