Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang Israel yang tidak pandang bulu dan brutal, yang sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 22.313 orang, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, serta melukai 57.296 orang.
Pada awal perang, Israel memerintahkan penduduk Jalur Gaza utara untuk meninggalkan rumah mereka, dan banyak pejabat Israel membuat pernyataan yang mendukung pengusiran paksa penduduk Gaza.
“Kongo akan bersedia menerima migran, dan kami sedang bernegosiasi dengan pihak lain,” kata sumber senior di kabinet perang Israel yang dikutip Times of Israel.
Pada Senin (1/1/2024) lalu saat pertemuan Partai Likud, Netanyahu sepenuhnya mendukung gagasan tersebut.
“Masalah kami adalah menemukan negara-negara yang bersedia menerima mereka [warga Gaza], dan kami sedang mengupayakannya,” terangnya.
Pada Selasa (2/1/2024) , AS mengkritik menteri sayap kanan Israel Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich karena menganjurkan pengusiran warga Palestina dari Gaza.
Namun, dukungan dan implementasi Netanyahu, yang mengarah pada perundingan rahasia antara pemerintah Israel dan Republik Demokratik Kongo, tampaknya merupakan peningkatan berbahaya dalam implementasi rencana pengusiran yang sering kali dianggap sebagai pembersihan etnis dan genosida.
Pemerintah Israel menyebut kebijakan tersebut sebagai “migrasi sukarela”, namun kutipan dari para menteri senior kabinet menunjukkan bahwa seluruh kebijakan bergantung pada Israel yang menjadikan Gaza tidak dapat dihuni oleh penduduk sipil, yang pada dasarnya memaksa warga Palestina untuk meninggalkan Gaza.
“Pada akhir perang, pemerintahan Hamas akan runtuh, tidak ada otoritas kota, penduduk sipil akan bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan. Tidak akan ada pekerjaan, dan 60% lahan pertanian di Gaza akan menjadi zona penyangga keamanan,” kata Menteri Intelijen Gila Gamliel kepada Knesset pada Selasa (2/1/2024).
(Susi Susanti)