“Orang terkena sistiserkosis ketika mereka menelan telur T.solium yang dikeluarkan melalui kotoran manusia yang menderita cacing pita,” kata CDC.
Telur cacing pita menyebar melalui makanan, air, atau permukaan yang terkontaminasi tinja.
“Manusia menelan telur ketika mereka memakan makanan yang terkontaminasi atau memasukkan jari yang terkontaminasi ke dalam mulutnya,” lanjutnya.
“Seseorang yang terkena cacing pita dapat menulari dirinya atau dirinya sendiri [autoinfeksi] dan anggota keluarga lainnya,” tambahnya.
Para ahli mengatakan makan daging babi yang kurang matang tidak dapat menyebabkan sistiserkosis. Kondisi ini juga tidak umum terjadi di AS, atau Inggris, di mana daging babi menjalani pengujian yang ketat.
Tingkat tertinggi penyakit ini ditemukan di beberapa bagian Amerika Latin, Asia dan Afrika, dan paling umum terjadi di daerah pedesaan di mana babi pembawa cacing pita babi dibiarkan berkeliaran dengan bebas, dan praktik kebersihan dan keamanan pangan buruk.
Orang-orang paling berisiko tertular penyakit ini karena cara mencuci tangan yang buruk atau karena mengonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi.
"Sangat jarang pasien tertular neurocysticercosis di luar paparan klasik atau perjalanan, dan kasus seperti itu di Amerika dianggap tidak ada,” terang penulis laporan tersebut.
Mereka mengatakan kasus ini menyoroti risiko konsumsi daging babi setengah matang dan autoinfeksi berikutnya.
“Secara historis, sangat jarang ditemukan daging babi yang terinfeksi di Amerika Serikat, dan kasus kami mungkin berdampak pada kesehatan masyarakat,” laporan tersebut menyimpulkan.
(Susi Susanti)