Peningkatan konsumsi minyak dunia yang telah disebutkan sebelumnya memberi dampak yang signifikan terhadap jumlah minyak yang di impor negara-negara tertentu seperti Cina dan Amerika Serikat (AS). Berbeda dengan Cina dan AS, negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Qatar justru lebih banyak melakukan aktivitas ekspor melalui Selat Hormuz. Melansir dari EIA, hanya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE) yang memiliki akses terhadap jaringan pipa yang melewati Selat Hormuz
Ramainya kegiatan ekspedisi minyak di Selat Hormuz tidak luput dari permasalahan keamanan yang dapat mengancam aktivitas perdagangan negara-negara yang sangat bergantung pada selat tersebut. Mengutip dari laporan Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS), sebanyak seperlima minyak dunia melewati Selat Hormuz.
Oleh karena itulah penting bagi setiap negara yang bergantung pada selat ini untuk menjaga stabilitas di kawasan agar aktivitas perdagangan antar negara terlindungi dan harga minyak di seluruh dunia stabil. Namun fakta bahwa konflik itu tidak sepenuhnya dapat dicegah benar adanya, mengingat setiap negara yang melewati selat ini memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
IPCS dalam laporannya mengenai hukum laut mengatakan bahwa Selat Hormuz bukanlah wilayah yang mencirikan perdamaian dan stabilitas. Nyatanya, secara historis Selat Hormuz telah menjadi titik sempit dan titik konflik.