Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

China Awasi Ketat Jurnalis Asing, Gunakan Drone Sebagai Alat Mata-Mata

Rahman Asmardika , Jurnalis-Kamis, 25 April 2024 |08:07 WIB
China Awasi Ketat Jurnalis Asing, Gunakan Drone Sebagai Alat Mata-Mata
Foto: Reuters.
A
A
A

HONG KONG – Pemerintah China telah menggunakan metode baru untuk menganggu jurnalis asing yang beroperasi di Negeri Tirai Bambu, dan dituduh menggunakan taktik otoriter mengekang kebebasan pers, menurut sebuah laporan baru. Laporan tersebut mengungkap pengekasan yang dilakukan Partai Komunis China (PKC) terhadap kebebasan pers dan berpendapat di negara tersebut.

Klub Koresponden Asing China (FCCC) merilis survei anggota tahunannya pada 8 April, menyoroti bagaimana kebijakan "zero-Covid" yang diusung PKC hanyalah salah satu dari banyak rintangan bagi jurnalis asing. Laporan tersebut mengungkap bahwa jurnalis asing menghadapi tanggapan keras dari PKC terhadap pemberitaan independen yang mengkritik kebijakan rezim China.

Yang mengejutkan, PKC bahkan menggunakan pesawat tak berawak (drone) untuk memantau jurnalis asing di lapangan. Taktik, yang pertama kali dilaporkan pada 2023, digunakan untuk memata-matai orang-orang yang berusaha mengungkap “borok” dari PKC.

Mengutip dari The HK Post, Kamis (25/4/2024), seorang jurnalis media Eropa yang tidak disebutkan memberi tahu FCCC bahwa ketika meliput laporan mengenai perubahan iklim di dua provinsi, mereka diikuti beberapa pejabat pemerintah, mengungkapkan upaya PKC untuk mengendalikan narasi tersebut.

Jurnalis itu melanjutkan peliputan, dengan mengatakan bahwa drone dikerahkan untuk mengikuti dan mengamati ketika mereka keluar dari kendaraan untuk merekam atau melakukan wawancara. Saat jurnalis dan timnya berjalan kaki, drone terus mengikuti mereka.

Hal ini menunjukkan taktik keras PKC dalam melawan kebebasan pers. Jurnalis yang tidak disebutkan namanya itu adalah salah satu dari 101 koresponden anggota FCCC yang menanggapi survei yang dilakukan dalam dua bulan pertama di tahun ini, menyoroti penindasan luas yang dilakukan rezim pemerintah China terhadap kebebasan pers di negara itu.

Para responden mewakili organisasi berita dari Asia, Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara, yang semuanya telah menghadapi taktik sensor dan intimidasi yang dilakukan Beijing. FCCC lebih lanjut menggarisbawahi bahwa mayoritas jurnalis tidak ingin dikutip secara langsung karena kekhawatiran akan potensi pembalasan terhadap diri mereka sendiri atau publikasi mereka dari PKC.

Laporan tersebut mengungkapkan suasana yang semakin tidak bersahabat bagi jurnalis di China. Hal ini tidak hanya menunjukkan rendahnya standar kebebasan pers di China, namun juga menyoroti tindakan keras PKC terhadap kebebasan berpendapat.

Standar Pelaporan Berita 

Drone bukan satu-satunya alat digital yang digunakan rezim komunis China dalam mengawasi jurnalis asing, karena laporan tersebut lebih lanjut mengungkapkan penggunaan pengawasan dan peretasan elektronik secara ekstensif.

Menurut laporan tersebut, sebagian besar dari mereka yang disurvei meyakini bahwa pihak berwenang China mungkin atau pasti telah meretas aktivitas komunikasi mereka melalui aplikasi media sosial WeChat, telepon rumah atau telepon seluler, dan perangkat penyadap audio yang dipasang di rumah atau kantor mereka.

Selain itu, laporan tersebut menyatakan bahwa beberapa responden menerima pesan teks mencurigakan dengan verifikasi atau kode login yang tidak mereka minta, kemungkinan besar merupakan hasil dari upaya peretasan PKC.

Laporan tersebut mencatat bahwa beberapa pejabat pemerintah merujuk pada informasi yang diyakini para responden hanya dapat diketahui dengan mengakses akun atau perangkat pribadi mereka. Hal ini mengungkapkan ketidakpedulian Pemerintah China terhadap privasi dan hak-hak individu, termasuk jurnalis.

Seorang jurnalis yang tidak disebutkan namanya dari sebuah surat kabar Eropa menggambarkan dinamika antara pejabat China dan jurnalis asing sebagai perjuangan terus-menerus dalam melawan pengekangan PKC. Jurnalis tersebut menyatakan bahwa strategi apa pun yang dicoba, sistem pengawasan dan keamanan China akan beradaptasi dan mempersempit ruang pemberitaan di bawah pemerintahan totaliter Beijing.

Selama bertahun-tahun, PKC tidak menoleransi kebebasan pers dan menjadikan China sebagai salah satu negara yang paling banyak memenjarakan jurnalis.

Sekira 99 persen dari mereka yang disurvei mengatakan kondisi pelaporan berita di China jarang atau tidak pernah memenuhi standar pelaporan internasional karena pembatasan yang dilakukan PKC. Sementara itu, sebanyak 81 persen mengatakan mereka pernah mengalami campur tangan, pelecehan, atau kekerasan saat bekerja di China di bawah kebijakan rezim pemerintah.

Laporan tersebut menyatakan bahwa lebih dari separuh responden mengatakan mereka dihalangi polisi atau pejabat lainnya setidaknya satu kali, seperti dilarang merekam, mengambil gambar, melakukan wawancara, atau ditahan. Mereka mengecam taktik sensor pemerintah terhadap media asing. Banyak orang di China menolak berbicara dengan jurnalis asing karena takut akan pembalasan dari rezim PKC.

Akreditasi Jurnalis Asing

Menurut laporan tersebut, mayoritas warga China menolak wawancara, dengan menyatakan bahwa mereka tidak diizinkan untuk berbicara dengan media asing atau memerlukan izin sebelumnya dari partai komunis yang berkuasa. Laporan tersebut menyoroti meningkatnya penindasan yang dilakukan PKC terhadap suara-suara yang berbeda pendapat, dan mencatat adanya perubahan signifikan di mana sumber akademis, pegawai lembaga think tank, dan analis menolak wawancara, meminta anonimitas, atau tidak menanggapi sama sekali.

Laporan ini juga menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, wawancara yang diberikan sebelumnya ditarik kembali setelah mendapat tekanan dari pihak berwenang, yang mengungkapkan taktik intimidasi dan pemaksaan yang dilakukan PKC. Selain itu, laporan tersebut juga mencatat bahwa Beijing kini menetapkan lebih banyak lagi area yang dianggap sensitif secara politik, menambah wilayah yang sebelumnya dikenal seperti Xinjiang dan Tibet, di mana partai komunis telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas.

Media asing kesulitan mendapatkan visa jurnalis dan izin tinggal bagi reporternya di China. Laporan tersebut lebih lanjut mengungkapkan bahwa banyak media menyoroti bahwa biro mereka kekurangan staf karena kebijakan PKC yang bersifat menghalangi.

Laporan tersebut menyatakan bahwa masalah ini sangat akut bagi media-media Amerika Serikat (AS), karena hanya satu media yang berhasil mendapatkan akreditasi pada 2023 untuk menggantikan jurnalis yang mengundurkan diri. Sementara media lainnya mengatakan mereka tidak dapat mendatangkan pengganti atau menambah jurnalis karena permusuhan dari PKC terhadap kebebasan pers.

Berdasarkan temuannya, FCCC mendesak pihak berwenang China untuk melonggarkan pembatasan akreditasi dan mengizinkan lebih banyak jurnalis asing untuk melakukan perjalanan ke negara tersebut. Organisasi tersebut juga mendesak Beijing untuk menghentikan pemantauan dan pelecehan terhadap jurnalis yang bekerja di China guna mengembangkan suasana yang lebih demokratis dan bebas untuk pemberitaan yang tidak memihak.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement