DUBAI - Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas yang terbunuh di Teheran, Iran, terkenal sebagai sosok yang suka bicara keras dalam diplomasi internasional kelompok Palestina itu saat perang berkecamuk di Gaza.
Namun terlepas dari retorikanya, ia dipandang oleh banyak diplomat sebagai seorang moderat dibandingkan dengan anggota kelompok garis keras lainnya yang didukung Iran di Gaza.
Diangkat ke jabatan tertinggi Hamas pada tahun 2017, Haniyeh berpindah-pindah antara Turki dan ibu kota Qatar, Doha, menghindari pembatasan perjalanan di Jalur Gaza yang diblokade dan memungkinkannya untuk bertindak sebagai negosiator dalam pembicaraan gencatan senjata atau untuk berbicara dengan sekutu Hamas, Iran.
"Semua perjanjian normalisasi yang Anda (negara-negara Arab) tandatangani dengan (Israel) tidak akan mengakhiri konflik ini," terang Haniyeh di televisi Al Jazeera yang berbasis di Qatar tak lama setelah pejuang Hamas melancarkan serangan pada 7 Oktober yang menewaskan 1.200 orang di Israel.
Tanggapan Israel terhadap serangan itu adalah kampanye militer yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 39.000 orang di dalam Gaza, dan membom sebagian besar daerah kantong itu hingga menjadi puing-puing, menurut otoritas kesehatan di wilayah itu.
Pada bulan Mei, kantor kejaksaan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) meminta surat perintah penangkapan untuk tiga pemimpin Hamas, termasuk Haniyeh, serta Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu atas tuduhan kejahatan perang. Para pemimpin Israel dan Palestina telah menolak tuduhan tersebut.