MALANG - Revisi Undang-undang Pilkada yang sempat dibahas DPR RI tidak jadi disahkan. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB) Prof. Muhammad Ali Safa'at mengungkapkan, bila skema Revisi UU Pilkada itu benar-benar disahkan DPR, maka hasil pemilihan suaranya bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK)
Maka, sambungnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) cuma bisa memilih dua alternatif, yaitu menjalankan undang-undang sesuai pengesahan revisi DPR RI dengan risiko inkonstitusional, atau mengajukan judicial review atau pengujian undang-undang ke MK.
"KPU memang serba repot dan dilematis, tapi katakanlah KPU menjalan undang-undang yang disahkan DPR RI, itu bisa dinyatakan inkonstitusional," kata Muhammad Ali Safa'at, dikonfirmasi pada Kamis 22 Agustus 2024, malam.
Pernyataan KPU pasca-demonstrasi besar-besaran di Jakarta sepanjang Kamis kemarin adalah masih akan menunggu dan berkonsultasi dengan DPR RI. Tapi bila DPR RI tetap mengesahkan revisi undang-undang dan Pilkada serentak berjalan, maka ketika ada sengketa Pilkada yang diajukan masyarakat bisa saja MK akan memutuskan mengulang pelaksanaan Pilkada serentak.
"Ketika ada penyelesaian perkara sengketa pilkada ke MK, sehingga prosesnya sudah jalan. Dibayangkan saja semua daerah harus diulang oleh MK, karena keputusan MK tidak dijalankan. Jadi betul-betul ada krisis konstitusional, dan tentu kita tidak berharap," tuturnya.
Ia meminta DPR RI dan KPU legowo, bila tak ingin hal itu terjadi. Apalagi secara peraturan dalam di dalam putusan MK Nomor 70 ditegaskan bila Pilkada serentak digelar, dan ada masyarakat yang mengajukan sengketa Pilkada, rekomendasi pemungutan suara ulang akan diberikan.