Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tangani Pelanggaran Etik Penyelenggara Negara, Jimly: Kita Butuh Mahkamah Etika Nasional

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Rabu, 18 September 2024 |15:42 WIB
Tangani Pelanggaran Etik Penyelenggara Negara, Jimly: Kita Butuh Mahkamah Etika Nasional
Jimly Asshiddiqie usul pembentukan Mahkamah Etika Nasional. (Foto: Dok Ist)
A
A
A

JAKARTA – Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Jimly Asshiddiqie menilai sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga yang khusus menagani pelanggaran etika, yaitu Mahkamah Etika Nasional guna memperbaiki kerapuhan etika penyelenggara negara. Menurut Jimly, momentum saat ini sangat tepat untuk memulai pembentukan lembaga tersebut.

Hal itu disampaikan saat diskusi bertema ‘Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Perspektif Budaya Hukum’ yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Jimly mengungkapkan, sejak 2009, ia telah berulang kali mempromosikan pentingnya menata sistem etika di Indonesia. Namun, hingga kini, tidak ada usaha nyata dari pemerintah untuk mewujudkan rekomendasi yang sudah tertuang dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Tap tersebut secara eksplisit mengamanatkan kepada presiden, penyelenggara negara, dan masyarakat untuk menegakkan etika kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Saya sudah tiga kali menggelar konvensi nasional tentang etika kehidupan berbangsa. Bahkan waktu pelantikan Presiden Jokowi tahun 2019, Ketua MPR mendukung ide pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Sudah disetujui, tetapi tidak ada yang mengerjakan teknisnya," ujar Jimly dalam keterangannya dikutip Rabu (28/9/2024).

Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu, lembaga ini diharapkan bisa menjawab persoalan etika yang melanda berbagai sektor publik di Indonesia. Ia percaya Mahkamah Etika akan menjadi institusi yang berperan penting dalam menjaga integritas pejabat publik dan penyelenggara negara.

"Saya yakin timingnya sudah tepat. Kita buat Undang-Undang tentang etika berbangsa dan Mahkamah Etika Nasional. Undang-undang ini akan mengatur substansi etika dan infrastruktur pendukungnya, tidak hanya menyangkut penyelenggara negara, tetapi juga semua jabatan publik," tegasnya.

Jimly menambahkan, pelanggaran etika bukan hanya terjadi di kalangan penyelenggara negara, tetapi juga di berbagai organisasi profesional dan sektor publik lainnya.

"Etika jabatan publik lebih luas dari sekadar etika penyelenggara negara. Ada masalah serius di berbagai sektor, dari polisi hingga partai politik, bahkan di dunia kesehatan dan organisasi profesional," jelas Jimly.

Sementera itu, Hakim Agung sekaligus Guru Besar Hukum di Universitas Krisnadwipayana, Topaen Gayus Lumbuun menekankan pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa. Menurut Gayus, etika muncul ketika hukum tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang terjadi, terutama ketika menghadapi krisis multidimensi seperti yang dialami Indonesia pada 1998.

"Secara etika, sangat mungkin sebuah kebijakan menjadi lebih bijaksana daripada sekadar mengikuti aturan hukum. Namun, apakah kebijaksanaan penyelenggara negara selalu berjalan baik? Ternyata tidak," kata Gayus.

Ia mengutip tulisan Jimly yang menyebutkan bahwa hukum yang diberlakukan sebagai undang-undang memang baik, tetapi jangan sampai hukum digunakan sebagai alat oleh individu atau kelompok untuk menegakkan kekuasaan pribadi.

 

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement