Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Soal Etika Berbangsa, Jimly: Sekarang Momentum Lakukan Pembenahan

Arief Setyadi , Jurnalis-Jum'at, 20 September 2024 |09:01 WIB
Soal Etika Berbangsa, Jimly: Sekarang Momentum Lakukan Pembenahan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie (Foto: Dok Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, sekarang merupakan momentum untuk menata sistem etika berbangsa dan bernegara. Sebab, etika merupakan hulu dari segala problematika terdegradasinya budaya hukum yang berkeadilan.

"Sekarang salah satu isu yang paling banyak dibicarakan orang soal etika ini. Ini momentum melakukan pembenahan. Sejak 2009 saya sudah promosikan pentingnya menata sistem etika berbangsa dan bernegara ini,” kata Jimly dalam keterangannnya, dikutip Jumat (20/9/2024).

Jimly pun menyampaikan sebuah adagium, hukum itu ibarat sebuah kapal, etika adalah samuderanya. Maka, kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jikalau samuderanya kering. 

Hal tersebut diungkapkan Jimly saat diskusi kelompok terpumpun (FGD) Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dengan tema Budaya Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa 17 September 2024.

Ia menilai, penggerak hukum yang tidak lagi membawa nilai-nilai etika dan moralitas yang membuat budaya hukum yang rapuh dan runtuh. Sehingga ibarat sebuah kapal tidak mampu mencapai dermaga keadilan yang dicita-citakan.

Dari problem yang muncul diperoleh sejumlah rekomendasi dalam FGD, di antaranya, perlu dibentuk Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Dalam perumusan hukum harus mengedepankan supremasi etika.

Pembentukan UU tentang Etika Berbangsa dan Bernegara dan Mahkamah Etika Nasional. Pembentukan sistem yang terpisah antara peradilan hukum dan peradilan etika.

Mengkonseptualisasi sistem etika pejabat publik mulai dari etika penyelenggara negara sampai pada organisasi profesi, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi sosial keagamaan, organisasi politik, lembaga pendidikan, organisasi kebudayaan, dunia usaha, serta para pemangku kepentingan dalam segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.

Mengembalikan politik dan kebijakan berbasis intelektualitas dengan banyak pihak. Memberantas pemborosan impor dan kapitalisasi sumber daya pangan secara besar-besaran. Perlu adanya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk membahas isu-isu lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti pemanasan global, eksploitasi tanah, bahan bakar fosil dan lainnya.

 

Perlu mengembangkan daya kritis masyarakat agar jangan ada pengkultusan terhadap pemimpin. Pemiskinan sosial secara sistemik perlu dihentikan, jangan sampai ada sekelompok orang yang karena terlalu kaya bisa membeli suara mereka yang terlalu miskin.

Sinergi antara aktivisme sosial, hukum dan digital sehingga terhubung antara issue dan sector sebagai upaya sinergitas dan pendekatan sistematis yang tidak sporadis dalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat.

Pemberian hukuman berupa pencabutan hak-hak politik tanpa toleransi dan pembatasan hak-hak keperdataan kepada koruptor. Meningkatkan efektivitas bonus demografi dengan perbaikan kualitas generasi emas.

Perlunya pendidikan kritis dan reflektif yang membangun kepercayaan terhadap nilai-nilai yang lebih objektif, terbuka dan memancing dialektika. Perlu ada Revisi UU Partai Politik untuk mengakomodir Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), menegakkan desentralisasi politik, dan mengembalikan kedaulatan anggota partai.

Reformasi sistem pendanaan politik melalui alokasi anggaran negara yang lebih transparan dan akuntabel untuk pembiayaan parpol guna menopang program kaderisasi, rekruitmen politik melalui pemilihan internal, serta penerapan syarat minimal sebagai kader selama waktu tertentu untuk pengisian jabatan politik.

Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang. Evaluasi sistem pemilu dan model keserentakan pemilu. Menetapkan ambang batas jumlah anggota pendukung koalisi partai hingga tidak tercipta oligarki politik yang membahayakan proses berpolitik dan pengambilan kebijakan yakni dengan ambang batas paling besar 60% dari seluruh partai politik yang mengisi parlemen.

Pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk memotong mata rantai jual beli suara di pemilu dan pilkada. Rekonstruksi persyaratan ambang batas pencalonan presiden.

 

Mengatur masa transisi kepemimpinan nasional (lame duck period) guna mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Partai-partai politik diharapkan memprioritaskan kader-kader yang memahami persoalan daerah dan mewakili daerahnya dalam sistem meritokrasi.

Dari rekomendasi tersebut, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) didorong untuk menginisiasi rancangan UU Etika. Kemudian, melakukan pembinaan ideologi Pancasila dan bela negara baik di dalam maupun luar negeri.

Lalu, melakukan pembinaan dan pendidikan Pancasila bagi seluruh ASN secara berjenjang dan berkelanjutan. Melakukan kajian terkait implementasi dari substansi Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 tentang Bela Negara dalam konteks pembinaan ideologi Pancasila di segala lapisan masyarakat Indonesia. Pembumian Pancasila juga harus terus didorong dalam konteks budaya hukum dan independensi peradilan.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement