Di antara para pendukungnya, Nasrallah dipuji karena menentang Israel dan Amerika Serikat (AS). Di mata para musuhnya, ia adalah kepala organisasi teroris dan wakil teokrasi Islam Syiah Iran dalam perebutan pengaruh di Timur Tengah.
Konflik dengan Israel sebagian besar telah menentukan kepemimpinannya. Ia mendeklarasikan "Kemenangan Ilahi" pada tahun 2006 setelah Hizbullah melancarkan perang selama 34 hari dengan Israel, memenangkan rasa hormat dari banyak orang Arab biasa yang tumbuh besar menyaksikan Israel mengalahkan tentara mereka.
Namun, ia menjadi sosok yang semakin memecah belah di Lebanon dan dunia Arab yang lebih luas seiring meluasnya wilayah operasi Hizbullah ke Suriah dan sekitarnya, yang mencerminkan meningkatnya konflik antara Iran Syiah dan monarki Arab Sunni yang bersekutu dengan AS di Teluk.
Di dalam negeri, para kritikus Nasrallah mengatakan petualangan regional Hizbullah memberikan harga yang tak tertahankan bagi Lebanon, yang menyebabkan negara-negara Arab Teluk yang dulunya bersahabat menjauhi negara itu. Ini menjadi faktor yang berkontribusi terhadap keruntuhan keuangannya pada tahun 2019.
Pada tahun-tahun setelah perang 2006, Nasrallah ‘berjalan di atas tali yang ketat’ dalam konflik baru dengan Israel, menimbun roket Iran untuk membentuk "keseimbangan teror" pencegah dalam kontes ancaman dan kontra ancaman yang diukur dengan cermat.
Perang Gaza, yang dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel, memicu konflik terburuk Hizbullah dengan Israel sejak 2006, yang mengakibatkan kelompok itu kehilangan ratusan pejuangnya termasuk komandan tertinggi.
Setelah bertahun-tahun terlibat di tempat lain, konflik tersebut kembali memusatkan perhatian pada perjuangan bersejarah Hizbullah dengan Israel.
(Susi Susanti)