JAKARTA - Jenderal Hoegeng Iman Santoso adalah polisi yang jujur dan penuh teladan. Kapolri periode 1968–1971 itu menempatkan integritas dan moral di atas segalanya. Ia hidup sederhana dan seadanya, tak tergiur untuk bermewahan meski kesempatannya terbuka.
Hoegeng tak mempan disuap. Berulang kali penjahat mencoba menyuapnya dengan berbagai materi mewah bahkan godaan perempuan cantik, tapi Hoegeng tetap lurus. Siapapun yang bersalah harus ditindak, tak pandang bulu. Ia rela kehilangan jabatan asal moral dan integritasnya selamat.
Hoegeng punya pengalaman unik dengan Presiden Soekarno.
Mengutip lipi.go.id, saat bersama lulusan PTIK tahun 1952 dipanggil ke Istana, Soekarno bertanya namanya lalu berkomentar. "Apa tidak salah
itu, kan seharusnya Sugeng. Mbok diganti Soekarno." Kontan saat itu Hoegeng menjawab, "Nggak bisa Pak, karena Hoegeng itu dari orangtua
saya, kebetulan nama pembantu di rumah saya juga Soekarno."
"Kurang ajar kamu," kata Presiden Soekarno sambil tertawa lepas.
Sikap terbuka dan tidak takut kepada atasan bila benar itulah yang dipegang oleh Hogeng selama bertugas. Namun itulah yang mengakibatkan dia dicopot dari jabatan Kapolri pada 1971 oleh Presiden Soeharto. Kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene Conrad tidak sepenuhnya memuaskan hatinya.
Kasus Sum Kuning di Yogya yang melibatkan putra seorang pejabat/bangsawan Yogya serta seorang putra pahlawan revolusi diputuskan secara berliku-liku. Demikian pula dengan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi.
Hoegeng ingin bertindak profesional, tetapi hal ini tampaknya tidak menyenangkan hati atasannya. Memang kalau kita ingin hukum tegak di negeri ini, contoh itu harus dimulai dari presiden. Hoegeng seorang pekerja keras. Dia adalah profesional sejati.