“Saya yakin, dengan persatuan dan kesadaran etika yang tinggi, Indonesia bisa menjadi negara makmur di tahun 2045,” ujarnya.
Tanpa etika, para pemangku kebijakan akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, seperti yang terjadi pada fenomena nepotisme di beberapa daerah.
Ia juga mengkritik sejumlah oknum pejabat yang terlibat dalam skandal, baik di legislatif maupun yudikatif, yang menggambarkan rapuhnya integritas di tubuh pemerintahan.
Guru Besar Komunikasi Politik dari London School of Public Relations Lely Arianie Napitupulu menjelaskan, banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya etika di kalangan pejabat, dan salah satunya adalah budaya patron-klien yang sangat kental.
“Ketika baru dilantik jadi anggota dewan, lencana kecil DPR itu begitu berharga, dibawa ke mana-mana, bahkan sampai ke acara pernikahan di akhir pekan,” ujarnya.
Selain itu, fenomena ‘flexing’ di kalangan pejabat, dari pakaian bermerek hingga naik kelas bisnis di penerbangan, menambah jarak mereka dari rakyat yang mereka wakili.
“Dulu naik pesawat di ekonomi, sekarang di bisnis. Ketika bertemu dengan konstituen, (konstituen) malah dicuekin,” tambahnya, menggambarkan ironi antara janji politik sebelum terpilih dan kenyataan setelah menjabat. ***
(Khafid Mardiyansyah)