PASCA-PEMILU dan Pilkada 2024, publik Indonesia masih diriuhkan oleh isu politik nasional dan daerah. Keterpilihan Prabowo Subianto yang menggandeng Gibran Rakabuming sebagai pucuk pimpinan eksekutif nasional dan “menyatunya” partai-partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menjadi satu tarikan nafas dengan keterpilihan kepala daerah, baik itu Gubernur, Bupati maupun Walikota berserta para wakilnya pada Pilkada yang baru saja selesai dihelat.
Situasi ini menarik untuk dibaca, karena terdapat fenomena besar dimana kedaulatan rakyat hancur dan kekuasaan mengarah pada otoriterianisme. Mengapa demikian? Membaca realitas politik ini, tentu kita harus bisa membedakan tentang kedaulatan (sovereign) dan kewenangan (authority) sebagai satu terminologi berbeda dalam politik. Dalam demokrasi, kedaulatan adalah hak mutlak individu warga negara, tidak boleh diganggu siapapun. Prinsip utama kedaulatan adalah harus langsung (tanpa diwakilkan), umum (diiukuti oleh semua tanpa kecuali), bebas (tak boleh ada intervensi siapapun), dan rahasisa (tak saling mengumbar pilihannya kepada siapapun).
Berangkat dari prinsip diatas bahwa kedaulatan berada pada orang per-orang dan memiliki hubungan yang kompleks dari setiap kekuatannya yang terus berubah-ubah. Ini Michel Foucault sebagai kekuasaan eksis dan beraksi dimana dan kapan saja karena melekat secara inhern dalam diri setiap individu.
Di Indonesia, sejak Orde Baru berkuasa hingga sekarang hal ini dikenal dengan istilah Luber, langsung umum bebas rahasia. Sementara itu, kewenangan (authority) adalah legitimasi berkuasa seseorang setelah berhasil memenangkan kontestasi, baik itu Pemilu maupun Pilkada. Pemenang kontestasi pemilu adalah pemegang legitimasi kekuasaan atau disebut authority power. Kedaulatan rakyat yang berserak tersebut dihimpun melalui Pemilu atau Pilkada untuk menjadi kedaulatan kolektif. Oleh penyelenggara pemilu, suara rakyat nantinya akan dikonversi menjadi kursi kekuasaan. Dalam masyarakat modern, bentuk kedaulatan kolektif itu bernama negara, sebagai organisasi kekuasaan politik tertinggi. Kelak, negara akan memproduksi hukum-hukum dalam rangka melaksanakan kehendak kedaulatan dan mengatur warganya untuk tunduk pada kehendak kedaulatan kolektif tersebut. Seseorang atau sekelompok orang yang berkontestasi dalam pemilu adalah mereka yang mengejar legitimasi kekuasaan dari para pemilik kedaulatan, yakni individu-individu rakyat. Mereka inilah yang nantinya disebut sebagai penguasa, yakni pemegang kewenangan mengatur kekuasaan politik (Rapar, HJ: 2002).
The Power (kekuasaan) adalah kemampuan berbuat dan bertindak yang legitimit. Dimana seseorang atau sekelompok orang sah mempengaruhi tingkah laku orang lain sehingga menyebabkan bertindak sesuai keinginan pemilik kekuasaan itu (Alfan Alfian (2009). Dengan demikian, kekuasaan adalah konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, kekuatan, dan kewenangan. Tujuan utamanya untuk mengerjakan sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bersama. Tapi fakta sejarah, kekuasaan politik selalu mengarah pada kekuasaan yang tiran. Kehadiran politik sesungguhnya adalah berkaitan erat dengan fitrah manusia tentang cara mewujudkan keadilan melalui kepemimpinan, perlindungan dan kekuasaan. Walau realitasnya, politik melahirkan perlindungan dan kekuasaan yang berlebih-lebihan. (Bertens K: 1999).