JAKARTA - Pada 20 Januari 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendeklarasikan “keadaan darurat energi nasional,” yang menekankan urgensi untuk merevitalisasi industri bahan bakar fosil. Kebijakan Trump ini menandai perubahan yang signifikan dengan kembalinya ke strategi pro-minyak dan gas yang sempat dihentikan pada pemerintahan Joe Biden.
"Sekali lagi, Amerika akan menjadi negara manufaktur, dan kami memiliki sesuatu yang tidak akan pernah dimiliki oleh negara manufaktur lain: jumlah minyak dan gas terbesar dibandingkan negara mana pun di Bumi," ujar Trump dalam pidato pelantikannya.
Lantas apa alasan Trump kembali pro-Minyak dan Gas?
Dilansir dari Reuters, bahwa deklarasi Trump tentang “darurat energi nasional” yang dirancang untuk mengurangi ketergantungan pada minyak asing dan mempromosikan produksi energi dalam negeri. Karena penghentian produksi minyak gas selama pemerintahan Biden tentunya telah mempersulit produsen, penyuling, dan pekerja energi Amerika untuk melancarkan produksi dalam negeri sehingga harus mengimpor cadangan minyak gas dari luar. Sehingga harga jual minyak gas di pasaran terus meroket tinggi selama lima tahun terakhir.
Dilansir dari ABC News, penekanan Trump pada dukungan terhadap pekerja kerah biru dan wilayah yang bergantung pada energi melalui pengembangan bahan bakar fosil. Dilansir dari laman energy & commerce, sekitar lebih kurang 11.000 orang kehilangan pekerjaannya di perusahaan minyak setelah keputusan Biden menghentikan produksi gas minyak. Maka dari itu Trump berupaya untuk pemulihan penciptaan lapangan pekerjaan baru dengan adanya keputusan ini.