Ali menegaskan apabila penambahan kewenangan itu benar dilakukan maka hanya akan menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan baru. Ali menilai yang jauh lebih penting dibutuhkan saat ini adalah penguatan lembaga pengawasan penegak hukum.
"Perubahan terhadap UU ini yang disebut sebagai autocratic legalisme, berbahaya bagi demokrasi dan HAM juga negara hukum. Kalau revisi itu terus dipaksaakan justru akan menganggu dan mengancam kebebasan sipil. Kalau terus dipaksakan, jutsru kita jadi curiga ada apa ini terus di paksakan, apa ada kepentingan kekusaan," tuturnya.
Di sisi lain, praktisi hukum Awan Puryadi turut menyoroti hak imunitas jaksa yang masih tertuang dalam RUU terbaru. Padahal, kata dia, hak imunitas itu sangat rentan disalahgunakan oleh jaksa-jaksa nakal.
Tak hanya itu, Awan menyebut dalam draft RUU Kejaksaan yang beredar nantinya jaksa akan memiliki kewenangan berlebih dalam proses penegakan hukum. Mulai dari penyelidikan, intelijen hingga penuntutan.
"Padahal, UU Kejaksaan tahun 2021 telah memberi kewenangan yang berlebihan pada Jaksa dan potensial disalahgunakan seperti masalah hak imunitas Jaksa," tuturnya.
Terakhir, anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina mengkritik penambahan kewenangan bagi jaksa yang tidak dibarengi dengan penguatan di sektor pengawasan.
Gina menegaskan hal itu sangatlah berbahaya mengingat Kejaksaan sendiri saat ini banyak diadukan terkait pelanggaran HAM hingga kode etik dalam proses penegakan hukum.
"Kejaksaan banyak diadukan berkaitan dengan pelanggan kode etik dan penetapan, penahanan sewenang-wenang. Perubahan UU Kejaksaan harus mempertimbangkan mekanisme check and balances agar tidak berujung pada penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.
(Angkasa Yudhistira)