Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kasus Korupsi Pertamina Rugikan Negara Rp193,7 Triliun, Petinggi Oplos BBM Pertalite Jadi Pertamax

Riyan Rizki Roshali , Jurnalis-Selasa, 25 Februari 2025 |21:27 WIB
Kasus Korupsi Pertamina Rugikan Negara Rp193,7 Triliun, Petinggi Oplos BBM Pertalite Jadi Pertamax
Ilustrasi
A
A
A

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Pertamina Patra Niaga terkait tata kelola minyak mentah yang merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun. 

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung, Abdul Qohar dalam kasus ini Pertamina Patra Niaga mengabaikan pasokan minyak dalam negeri dengan sejumlah alasan.

Tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama Pertamina Patra Niaga bersama tersangka Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk, serta Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping menggelar rapat untuk memutuskan impor minyak mentah.

“Ada permufakatan jahat antara tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS dan tersangka YF bersama DMUT/broker, yakni tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur,” kata Qohar saat konferensi pers, Selasa (25/2/2025).

Qohar menerangkan, Riva mengimpor bahan bakar minyak dengan kadar RON 90 atau setara dengan Pertalite. Padahal, dalam kesepakatan dan pembayarannya tertulis pembelian RON 92.

“Kemudian dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92 dan hal sebut tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada,” ujar dia.

Qohar juga menerangkan bahwa tersangka juga melakukan mark up kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen. 

 

Dari situ, lanjut dia, tersangka M. Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa mendapatkan keuntungan.

“Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh oleh produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP atau harga indeks pasar, BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau lebih tinggi, sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi bahan bakar minyak setiap tahun melalui APBN,” jelas dia.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement