JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Greenland, pulau yang merupakan bagian dari Denmark, sebagai wilayah AS. Namun, keinginan Trump itu mendapat penolakan keras, baik dari Denmark, maupun dari Greenland, yang lebih memilih untuk merdeka.
Meski kemungkinan tak akan dapat memiliki Greenland, Trump tampaknya berkesempatan untuk memperluas wilayah AS ke wilayah Oseania setelah sebuah pulau di Papua Nugini yang kaya emas menyatakan kenginannya utuk memberikan kendali wilayah tersebut kepada AS.
Bougainville, yang saat ini merupakan bagian dari Papua Nugini, memilih kemerdekaan pada 2019, tetapi jajak pendapat tersebut tidak mengikat. Sekarang seorang pemimpin setempat mengatakan bahwa ia terbuka terhadap kesepakatan untuk memberikan akses Bougainville kepada Amerika Serikat.
Mengingat letak strategis pulau tersebut sebagai pijakan AS di Oseania dan potensi konflik dengan China di kawasan, Bougainville mungkin bisa memainkan peran yang signifikan bagi Washington,
“Jika AS datang dan berkata, ‘Ya, kami mendukung kemerdekaan Bougainville,’ maka, saya dapat berkata, "Baiklah, tambang Panguna ada di sini. Terserah Anda,"' kata mantan pemberontak yang kini menjabat sebagai Presiden Bougainville, Ishmael Toroama, sebagaimana dilansir Daily Mail.
“Bougainville mendukung kemerdekaan. Ini hanya masalah waktu,” katanya kepada The World pada Oktober, menetapkan tahun 2027 sebagai target untuk memperoleh status negara bagian penuh.
Pulau tersebut diketahui memiliki kekayaan alam yang besar, khususnya tambang Panguna yang tidak aktif, yang dulunya merupakan salah satu sumber tembaga dan emas terbesar di dunia.
Diperkirakan tambang tersebut masih menyimpan 5,84 juta ton tembaga dan hampir 10 juta ton emas — yang saat ini bernilai sekira USD60 miliar.
Dengan kekayaan mineralnya dan lokasinya yang berada di sebelah utara Australia, Bougainville dipandang sebagai hadiah potensial dalam perebutan kekuasaan yang semakin ketat antara AS dan China.
Namun, mantan Komisaris Tinggi Australia untuk PNG, Ian Kemish, tidak yakin. "Saya tidak begitu yakin bahwa itu akan menjadi hal yang penting," katanya kepada The Sun. "Namun dari sudut pandang geopolitik, Bougainville yang merdeka dapat bermanfaat bagi AS atau China."
Meskipun 98 persen pemilih mendukung pemisahan Bougainville dari PNG, jalan menuju status negara bagian penuh masih terhenti dalam ketidakpastian politik, dengan parlemen PNG menunjukkan sedikit keinginan untuk melepaskan wilayah yang kaya mineral itu.
"Faktanya adalah bahwa parlemen nasional sama sekali tidak ingin melihat Bougainville lepas," tambah Kemish. "Kedua belah pihak telah menghindari konfrontasi, tetapi masih banyak ketegangan yang tersisa dalam hal ini."
Ketegangan itu berakar pada masa lalu yang berdarah. Bougainville pernah mendeklarasikan kemerdekaan pada 1975 — tetapi diserap oleh PNG setahun kemudian, yang memicu perang saudara yang berkecamuk dari 1988 hingga 1997, yang menelan ribuan korban jiwa.
Kesepakatan damai tahun 2001 menjanjikan pemungutan suara di masa mendatang — yang dilaksanakan pada 2019 — tetapi kemerdekaan hukum masih memerlukan persetujuan PNG.
Dengan PNG yang tidak memenuhi tenggat waktu ratifikasi tahun 2023 yang ditetapkan dalam Perjanjian Era Kone, keraguan pun berkembang.
"Mereka merasa integritas teritorial negara dipertaruhkan," kata Kemish. "Jika mereka melepaskan satu bagian, bagian lain akan ingin mengikutinya."
Meskipun ditutup sejak perang saudara, tambang Panguna tetap menjadi landasan impian Bougainville untuk mencapai kemerdekaan ekonomi.
"Kita harus membuka potensi ekonomi Bougainville," tambah Toroama. "Tidak seorang pun akan menghentikan rakyat kita."
Sebagai rumah bagi lebih dari 300.000 orang, Bougainville akan menjadi salah satu negara terkecil di dunia, kira-kira seukuran Siprus.
Tetangga terdekatnya, Kepulauan Solomon, telah condong ke Beijing—menambah intrik lebih lanjut pada nasib Bougainville.
Jika berhasil mendapatkan pengakuan, Bougainville akan menjadi negara baru pertama yang diterima di PBB sejak Sudan Selatan pada 2011.
Ini bukan pertama kalinya Trump melontarkan ambisi teritorial yang berani.
Sebagaimana diketahui, Trump telah mengonfirmasi bahwa AS empertimbangkan untuk membeli Greenland. Dia juga memicu ketegangan diplomatik dengan Kanada setelah menyarankan negara tetangga itu untuk menjadi negara bagian ke-51 AS.
Keinginan Trump terkait kedua wilayah tersebut mendapatkan penolakan keras, baik dari pejabat Denmark dan pemerintah Kanada.
(Rahman Asmardika)