Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tuduh China Sabotase Kabel Bawah Laut, Taiwan Tuntut Ganti Rugi

Rahman Asmardika , Jurnalis-Sabtu, 03 Mei 2025 |13:14 WIB
Tuduh China Sabotase Kabel Bawah Laut, Taiwan Tuntut Ganti Rugi
Ilustrasi. (Foto: Meta AI)
A
A
A

JAKARTA - Taiwan telah mengajukan tuntutan terhadap kapten kapal China setelah menuduhnya dengan sengaja merusak kabel bawah laut di lepas pantainya pada Februari 2025. Pada 11 April, Jaksa Taiwan menuntut kapten dari kapal berbendera Togo, Hong Tai 58, yang diawaki kru asal China tersebut, yang dicurigai merusak kabel bawah laut di barat daya Taiwan.

Dilansir The Singapore Post, Sabtu, (3/5/2025), Kantor Kejaksaan Distrik Tainan menyatakan bahwa sang kapten didakwa melanggar Undang-Undang Pengelolaan Telekomunikasi. Ini merupakan kali pertama Taiwan menuntut seseorang atas pelanggaran semacam ini.

Tindakan hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya ini muncul setelah lonjakan kerusakan kabel yang memicu kekhawatiran di kalangan pejabat Taiwan di tengah meningkatnya ketegangan dengan China.

Menurut laporan, pada 25 Februari 2025, otoritas Taiwan menaiki kapal Hong Tai dan menahan tujuh awak kapal asal China setelah Chunghwa Telecom Co. melaporkan kepada Administrasi Penjaga Pantai (CGA) bahwa kabel serat optik bawah laut Taiwan-Penghu No. 3 telah terputus. CGA juga menyatakan bahwa mereka telah mengamati keberadaan Hong Tai di wilayah tersebut sejak 22 Februari 2025.

Para jaksa menjelaskan bahwa pada periode tersebut, kapal menjatuhkan jangkar sejauh 5 mil laut (9,26 km) di sebelah barat Distrik Beimen, Tainan, dan berlayar dalam pola zigzag yang merusak di sekitar kabel No. 3. Penyelidik menemukan bahwa peta navigasi elektronik kapal menunjukkan lokasi berbagai kabel bawah laut di sekitar perairan Taiwan, termasuk kabel No. 3.

Dilaporkan bahwa para awak kapal tidak dikenai dakwaan karena kurangnya bukti dan kini menunggu deportasi, sementara sang kapten ditahan secara terpisah. Mereka menambahkan bahwa “kapten terus membantah telah melakukan kesalahan dan menolak mengungkap identitas pemilik kapal yang kemungkinan besar memerintahkannya melakukan aksi tersebut.”

 

Tindakan sabotase ini berlangsung tidak lama setelah peluncuran perangkat pemotong kabel laut dalam buatan China pada Februari 2025. Perangkat tersebut mampu memotong kabel di kedalaman hingga 4.000 meter dan pertama kali diumumkan dalam jurnal berbahasa Mandarin Mechanical Engineer. Alat ini memiliki lapisan paduan titanium dan segel khusus yang dapat menahan tekanan tinggi di kedalaman laut selama waktu yang lama.

Perangkat ini juga dilengkapi “roda gerinda yang dilapisi ujung berlian, berputar cepat sebanyak 1.600 putaran per menit,” yang memungkinkan alat memotong lapisan baja pelindung kabel, yang dirancang untuk menyerang kabel lapis baja. Alat ini dikabarkan memiliki jangkauan operasional maksimum dua kali lipat dari infrastruktur komunikasi bawah laut yang ada.

Perangkat ini dikembangkan oleh China Ship Scientific Research Centre (CSSRC) dan State Key Laboratory of Deep-sea Manned Vehicles yang berafiliasi dengannya. Alat ini dirancang untuk “berintegrasi dengan kendaraan selam canggih milik China, baik berawak maupun tanpa awak, seperti seri Fendouzhe (Striver) dan Haidou.”

Dugaan Sabotase China

Dalam satu dekade terakhir, China telah mencapai kemampuan bawah laut yang signifikan dan memicu kekhawatiran di negara-negara tetangganya. Namun pengungkapan ini adalah pertama kalinya sebuah negara secara terbuka mengakui memiliki aset yang mampu mengganggu infrastruktur digital vital, meskipun secara resmi diklaim untuk operasi penyelamatan dan pertambangan sipil di dasar laut.

China sebelumnya juga telah dituduh melakukan sabotase terhadap kabel telekomunikasi internasional. Operasi wilayah abu-abu ini menjadi ancaman bagi komunikasi internasional dan sistem keuangan, dan perusakan kabel bawah laut dipandang sebagai kejahatan internasional.

Penuntutan terhadap kapten kapal ini berpotensi memicu aksi internasional terhadap China, apalagi mengingat kabel Trans-Pacific Express senilai USD500 juta telah menghubungkan negara-negara Asia Timur dengan Pantai Barat Amerika Serikat sejak 2008.

 

Taiwan pun telah meminta bantuan dari mitra Eropa untuk menghindari pemadaman komunikasi di masa depan. Langkah-langkah ini juga dapat memperkuat dukungan terhadap Taiwan dalam menghadapi aksi-aksi China yang mengancam konektivitas dan stabilitas global.

Penting untuk memahami dampak luas dari penuntutan ini dan keseriusan insiden tersebut. Dengan menegakkan hukumnya terhadap warga negara China, Taiwan sedang menegaskan kedaulatan hukum dan politiknya. Kabel bawah laut dikategorikan sebagai infrastruktur kritis, yang merupakan isu keamanan nasional; dengan demikian, Taiwan secara tegas menyatakan bahwa melindungi infrastruktur pentingnya dari ancaman adalah tugas utama sebuah negara merdeka. Tindakan ini juga menetapkan preseden hukum baru.

China menggunakan operasi wilayah abu-abu untuk menguji batasan, dan tindakan semacam itu sering kali tidak dihukum karena ketiadaan undang-undang domestik atau bukti. Taiwan, dengan mengkriminalkan tindakan wilayah abu-abu ini, memberikan dasar hukum domestik terhadap taktik perang wilayah abu-abu di masa mendatang dari China, yang berpotensi menghalangi upaya-upaya sabotase kabel berikutnya.

Strategi Blokade China

Bagi Taiwan, ini juga merupakan persoalan sederhana namun krusial: kelangsungan hidup. China merupakan ancaman eksistensial terhadap kedaulatan Taiwan. Dengan menyebut pemerintah Taiwan sebagai “separatis” dan bersumpah menggagalkan setiap upaya kemerdekaan, China telah meningkatkan latihan militernya di sekitar Taiwan sejak 2022.

Pemadaman komunikasi adalah bagian penting dari strategi blokade China. Oleh karena itu, kerusakan berulang terhadap kabel bawah laut internasional yang mahal merupakan tantangan serius bagi keamanan Taiwan.

Keputusan Taiwan untuk menuntut kapten kapal asal China atas perusakan infrastruktur komunikasi bawah laut bukan sekadar tindakan hukum; ini adalah pernyataan strategis tentang kedaulatan di tengah meningkatnya tekanan wilayah abu-abu. Dengan mengubah sabotase diam-diam menjadi tindak pidana, Taiwan menarik garis hukum dan politik yang tegas, menunjukkan niatnya untuk melindungi infrastruktur vital dengan instrumen hukum.

 

Kasus ini juga menetapkan preseden penting. Kabel bawah laut adalah "urat nadi tak terlihat" dari internet dan sistem keuangan global, dan karena seringnya tindakan sabotase, kabel-kabel ini kini menjadi garis depan konflik geopolitik modern. Ketika China terus mengembangkan alat-alat canggih untuk beroperasi di wilayah ini, termasuk alat pemotong kabel yang diakui secara publik, maka taruhan atas keamanan kawasan dan konektivitas global menjadi semakin tinggi.

Ketegasan Taiwan, bila didukung oleh kerangka hukum, teknis, dan diplomatik internasional, dapat menjadi model bagi negara lain dalam mencegah tekanan wilayah abu-abu. Pada akhirnya, bagi Taiwan, menjaga kabel bukan hanya soal komunikasi—ini tentang mempertahankan kedaulatan dan menjamin kelangsungan hidup dalam lingkungan strategis yang semakin diperebutkan.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement