JAKARTA - Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Advokat bernama Syamsul Jahidin melayangkan gugatan atas Pasal 16 (1) l dan ayat 2 c UU 2/2002.
Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 76/PUU-XXIII/2025. Penggugat menilai, kewenangan yang diatur dalam beleid tersebut dianggap multitafsir dan berpotensi adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam proses penegakan hukum.
Sidang perdana di MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, pengujian materil Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian berlangsung hari ini, Kamis (22/05/2025), dengan majelis hakim konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih.
Kepada majelis hakim konstitusi, Syamsul menyampaikan norma Pasal 16 ayat 1 UU khususnya huruf l yang berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab” bersifat multiinterpretatif. Hal itu menurutnya memberi ruang bagi aparat kepolisian untuk melakukan tindakan secara subjektif.
Selai itu, ia juga menilai Pasal 16 ayat (2) UU khususnya huruf c yang berbunyi “harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya” juga mengandung unsur penilaian yang subjektif sehingga berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-sewenang.
Syamsul berpendapat Pasal 16 Ayat 1 Huruf l telah memberi ruang kepolisian dapat melakukan tindakan di luar prosedur hukum formal dengan dalih bertanggungjawab tanpa parameter objektif. “Pasal ini dapat menimbulkan 'chilling effect' atau ketakutan masyarakat atas kondisi ambigu dalam perundangan,” ujarnya dalam persidangan.
Penggugat juga beranggapan adanya pelanggaran hak pribadi pada Pasal 16 Ayat 2 Huruf c. Di mana pada frasa ‘harus patut dan masuk akal dalam lingkungan jabatannya’, menurutnya mengandung unsur subjektif. Pasal tersebut dinilai dapat menjustifikasi tindakan oknum sebagai masuk akal, meskipun tidak sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalisme, proporsionalitas dan akuntabilitas, yang harusnya melekat pada penegak hukum.
“Pasal ini memberikan ruang penilaian subjektif tanpa kontrol objektif berpotensi memberikan praktik otoritarianisme, tidak adanya transparansi, serta tindakan koersif yang hanya dibenarkan secara internal oleh institusi kepolisian,” ujarnya.
Berkas gugatan tersebut mengutip sejumlah pemberitaan di media massa yang memuat tentang kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang. Di tahun 2019, misalnya, kekerasan penanganan demo sebanyak 68 kasus, penangkapan sewenang-wenang 3.539 korban, penahanan sewenang-wenang 326 korban, dan penyiksaan sebanyak 474 korban.
Usai persidangan, Syamsul menjelaskan frasa 'harus masuk akal’, seperti yang dijelaskan Pasal 16 ayat 2 huruf C, bersifat subjektif. Dirinya menyebut norma ‘masuk akal’ dapat membuat semua pihak menjadi rentan mengalami perlakuan sewenang-wenang dari Polri. "Jadi undang-undangnya objektif tapi sifatnya subjektif. Nah ini yang banyak menimbulkan kesewenangan," kata Syamsul.
Dalam persidangan tersebut, Pasal 11 (2) UU No 2/2002 yang mengatur tentang usulan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat juga ikut digugat. Syamsul bersama seorang anggota bhayangkari bernama Ernawati terdaftar sebagai pemohon dalam berkas gugatan dengan nomor perkara 78/PUU-XXIII/2025. Keduanya menilai penjelasan Pasal 11 ayat (2) seharusnya dirumuskan dalam batang tubuh pasal.
Sosok Ernawati yang turut menjadi pemohon uji materiil Pasal 11 (2) diketahui sempat membuat heboh publik dengan tagar #percumalaporpolisi lewat akun TikToknya. Ernawati, asal Jeneponto, Sulawesi Selatan , sebelumnya merupakan anggota Bhayangkari (istri polisi) yang mencari keadilan atas kematian Kaharuddin Dg Sibali, kakak kandungnya. Erna ditetapkan sebagai tersangka UU ITE setelah aktif menyuarakan di media sosial soal kematian Kahar, yang diduga tewas disiksa polisi.
"Saya Ernawati, yang pernah dijuluki narasumber percuma lapor polisi. Sampai sekarang belum dapat keadilan. Belum terbuka kematian saudara saya. Karena kenapa? Kewenangan itu dipakai untuk menutupi kematian almarhum kakak saya ini. Yang kewenangan apa? Hasil visum enggak dikasih sama polisi, karena polisi yang punya kewenangan. Terus saya juga kepastian hukum belum dapat,” ucapnya saat ditemui di MK.
Terkait gugatan uji materiil dua perkara itu, hakim konsitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon melakukan perbaikan berkas perkara. Sementara Anwar Usman menilai pemohon seharusnya mengajukan gugatan ke PTUN. Karena itu, Majelis hakim memberi batas waktu bagi pemohon untuk melakukan perbaikan hingga sidang pada tanggal 4 Juni 2025.
(Angkasa Yudhistira)