Ia menambahkan dalam sistem negara demokrasi modern, tidak ada satu institusi yang boleh memiliki kekuasaan tanpa pengawasan. "Karena itu, reformasi Polri harus diarahkan pada perubahan struktur kelembagaan. Caranya, dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum," tegas Rahman.
Dalam model tersebut, kementerian bertugas menyusun kebijakan strategis, menyelaraskan fungsi antarlembaga, dan mengawasi jalannya organisasi. Sementara Polri bertindak sebagai pelaksana teknis dan operasional dari kebijakan negara.
"Model ini sudah berlaku di banyak negara demokrasi maju seperti Jerman, Jepang, Australia, dan Prancis. Di negara-negara tersebut institusi kepolisian menjadi bagian dari struktur kementerian dan tidak berdiri sebagai lembaga independen yang menyusun dan menjalankan kebijakannya sendiri," papar Rahman.
Pengalaman negara-negara tersebut, sambungnya, membuktikan bahwa kontrol sipil atas institusi koersif bukanlah bentuk pelemahan, melainkan upaya untuk memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik.
Menurutnya, jika reformasi struktural ini tidak segera diwujudkan, risiko institusionalisasi abuse of power akan terus membayangi bangsa ini sampai kapan pun. "Membangun demokrasi yang sehat hanya mungkin terjadi bila kekuasaan, termasuk yang bersenjata, tunduk pada otoritas sipil dalam sistem yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum," tutup Rahman.
(Angkasa Yudhistira)