JAKARTA - Reformasi Polri dinilai perlu dilakukan dengan kontrol kelembagaan dan pembatasan kewenangan mutlak. Hal tersebut dianggap dapat mencegah terjadinya abuse of power dalam sektor pengakan hukum.
Hal tersebut disampailkan Peneliti Prolog Initiatives, Rahman Azhar, di mana menurutnya salah satu caranya adalah dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum.
Saat ini, menurutnya, Polri berada di persimpangan krusial dalam sejarah reformasinya. Gelombang kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan lembaga negara atas berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh anggota maupun struktur institusional Polri menjadi gambaran atas krusialnya reformasi Polri yang saat ini sedang dilakukan.
Rahman memandang urgensi merombak total tata kelola lembaga Polri perlu dilakukan untuk memastikan reformasi di Korps Bhayangkara tersebut berjalan dengan baik. Beberapa kasus menonjol bahkan disebutnya menjadi indikator kegagalan sistemik Reformasi Polri.
"Ketika sebuah institusi yang memiliki senjata, kewenangan penindakan hukum, dan kekuasaan koersif tidak dikontrol oleh institusi sipil yang membentuk kebijakan, maka hasilnya adalah lembaga dengan potensi hegemoni kekuasaan dan resistensi terhadap akuntabilitas," ujar Rahman, Jumat (30/5/2025).
Dirinya turut menyoroti perluasan kewenangan diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang berpotensi menggerus fungsi kelembagaan lain, antara lain Kejaksaan, TNI, Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Perluasan kewenangan itu dikhawatirkannya menjadikan Polri sebagai lembaga yang terlalu kuat secara politik, operasional, dan administratif, tanpa pengawasan institusional yang efektif sebagaimana yang berlaku dalam desain negara demokratis modern.
"Jika tidak dikontrol, Polri akan bertransformasi menjadi entitas superbody," ujarnya.
Dirinya mengingatkan, secara fundamental perluasan mandat itu bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis. Selain itu, peran Polri juga perlu didefinisikan secara lebih terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945, yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara tugas penegakan hukum bukan hanya domain Polri, tetapi juga Kejaksaan, KPK, Imigrasi, Bea Cukai, TNI, hingga Bakamla.
"Pembagian wewenang penegakan hukum ini penting agar tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kekuasaan absolut yang nantinya sulit terkontrol," tukas Rahman.
Ia menambahkan dalam sistem negara demokrasi modern, tidak ada satu institusi yang boleh memiliki kekuasaan tanpa pengawasan. "Karena itu, reformasi Polri harus diarahkan pada perubahan struktur kelembagaan. Caranya, dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum," tegas Rahman.
Dalam model tersebut, kementerian bertugas menyusun kebijakan strategis, menyelaraskan fungsi antarlembaga, dan mengawasi jalannya organisasi. Sementara Polri bertindak sebagai pelaksana teknis dan operasional dari kebijakan negara.
"Model ini sudah berlaku di banyak negara demokrasi maju seperti Jerman, Jepang, Australia, dan Prancis. Di negara-negara tersebut institusi kepolisian menjadi bagian dari struktur kementerian dan tidak berdiri sebagai lembaga independen yang menyusun dan menjalankan kebijakannya sendiri," papar Rahman.
Pengalaman negara-negara tersebut, sambungnya, membuktikan bahwa kontrol sipil atas institusi koersif bukanlah bentuk pelemahan, melainkan upaya untuk memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik.
Menurutnya, jika reformasi struktural ini tidak segera diwujudkan, risiko institusionalisasi abuse of power akan terus membayangi bangsa ini sampai kapan pun. "Membangun demokrasi yang sehat hanya mungkin terjadi bila kekuasaan, termasuk yang bersenjata, tunduk pada otoritas sipil dalam sistem yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum," tutup Rahman.
(Angkasa Yudhistira)