“Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras,” tuturnya.
“Tentu saja saya mengutuk dan mengecam kasus pemerkosaan yang terjadi pada peristiwa kerusuhan Mei 1998,” ucapnya. Ia mengaku mengikuti perdebatan isu ini lebih dari 20 tahun, termasuk diskusi di berbagai forum publik.
“Saya siap sebagai seorang sejarawan dan peneliti untuk mendiskusikan ini," katanya. Ia juga menegaskan bahwa keraguannya akan penggunaan diksi “massal” tersebut merupakan pendapat pribadi dan tidak berkaitan dengan isi penulisan buku sejarah.
Fadli Zon juga menekankan bahwa proses penulisan sejarah ini dijaga sepenuhnya dari intervensi pihak manapun, termasuk dirinya sendiri dan internal Kementerian.
“Karena memang dalam proses penulisan sejarah ini melibatkan para sejarawan yang telah memiliki kredibilitas dan pengalaman mendalam di bidang sejarah, sehingga tentunya proses penulisan dilakukan dengan penuh ketelitian dan menggunakan data-data yang valid,” ucapnya.
Selain mengangkat peristiwa-peristiwa penting di dalam negeri, penulisan sejarah ke depan juga diarahkan memiliki tone positif dengan menyoroti capaian-capaian Indonesia di kancah internasional, memperkuat rasa bangga dan kepercayaan diri nasional.
Untuk tone positif itu, menurutnya, bukan berarti melupakan apalagi menegasikan peristiwa-peristiwa tragis di masa lampau di antaranya kerusuhan Mei 1998 dan sebagainya.