JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez, menyoroti penyelesaian kasus dugaan pemerkosaan mahasiswi di Karawang, Jawa Barat. Mediasi kedua belah pihak disepakati jika pelaku harus menikahi korban. Namun, pelaku langsung menceraikan korban setelah dinikahi.
Gilang pun mengecam langkah aparat kepolisian yang memfasilitasi mediasi perdamaian. Pasalnya, kasus kekerasan seksual wajib diproses hukum sesuai dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ia menyatakan aparat kepolisian wajib memproses hukum pelaku.
“Dalam UU TPKS, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar peradilan. Sekalipun ada perdamaian, aparat penegak hukum tetap wajib memproses hukum pelaku,” kata Gilang, Selasa (8/7/2025).
Menurut Gilang, pendekatan damai terhadap kejahatan seksual adalah bentuk penyimpangan hukum yang tidak dapat ditoleransi dan menciptakan preseden yang sangat berbahaya bagi perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia.
“Tidak ada ruang mediasi dalam perkara pemerkosaan. Ini bukan delik adat, bukan persoalan reputasi kampung, ini tindak pidana berat," ujarnya.
Merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, kata dia, tidak memperbolehkan ada perdamaian dalam kasus kekerasan seksual. Pasal 23 UU TPKS secara tegas menyatakan perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
"Pengecualian hanya berlaku untuk pelaku anak, di mana penyelesaian perkara bisa dilakukan melalui mekanisme peradilan anak yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak," katanya.
Penerapan restorative justice (keadilan restoratif) yang sering digunakan dalam kasus lain juga tidak berlaku dalam kasus kekerasan seksual. Sebab, hal itu dapat memperburuk trauma korban dan tidak memberikan efek jera pada pelaku.
Untuk itu, Gilang meminta aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, wajib menolak klaim perdamaian dalam kasus kekerasan seksual dan memastikan proses hukum berjalan, bukannya malah memfasilitasi perdamaian yang mencederai keadilan bagi korban.
"Aparat yang menyarankan perdamaian dalam kasus seperti ini telah menyimpang dari tugas konstitusionalnya sebagai penegak hukum,” tuturnya.
Gilang tak habis pikir dengan sikap polisi yang memediasi kasus kekerasan seksual yang berujung pada pernikahan ini. Menurutnya, praktik semacam itu merupakan bentuk ‘pembiaran sistemik’ yang menghancurkan kepercayaan publik terhadap aparat hukum.
"Padahal, korban sudah cukup berani bersuara dan melaporkan kejadian. Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban justru dihadapkan pada tekanan sosial dan dibiarkan ‘menikah’ dengan pelaku, lalu diceraikan keesokan harinya," tukasnya.
“Ini bukan sekadar cacat prosedur. Ini pengkhianatan terhadap keadilan. Polisi seharusnya membawa pelaku ke jalur hukum, bukan mengatur jalan pintas yang mencederai rasa keadilan korban dan keluarganya,” imbuhnya.
Diketahui, mahasiswi 19 tahun di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, diduga menjadi korban pemerkosaan oleh guru ngaji berinisial J, yang juga merupakan paman korban, pada awal April lalu.
Saat pelaku digelandang ke Polsek Majalaya, pihak kepolisian justru memediasi kasus tersebut dan menyarankan perdamaian. Kesepakatan damai itu berisi pernyataan pelaku untuk bersedia menikahi korban dan keduanya tidak akan saling menuntut di kemudian hari.
Selang satu hari setelah dinikahkan, korban langsung diceraikan, dan pelaku masih menjalankan aktivitas sebagai seorang guru ngaji seperti biasa. Pada Mei 2025, tim kuasa hukum korban sudah melaporkan kembali kasus ini ke Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Karawang. Namun, laporan tersebut tidak bisa diproses karena sebelumnya ada surat pernyataan damai.
(Arief Setyadi )